Jumat, 15 April 2011

Gambaran Pengetahuan dan Sikap Remaja SMA Terhadap Infeksi Menular Seksual

KTI SKRIPSI
GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA SMA TERHADAP INFEKSI MENULAR SEKSUAL

ABSTRAK

Sampai saat ini, infeksi menular seksual masih menjadi masalah kesehatan, sosial maupun ekonomi di berbagai negara. Di beberapa negara disebutkan bahwa pelaksanaan program penyuluhan yang intensif akan menurunkan insidens infeksi menular seksual atau paling tidak insidensnya relatif tetap. Namun demikian, di sebagian besar negara insidens infeksi menular seksual relatif masih tinggi. Kebanyakan penderita infeksi menular seksual adalah remaja usia 15-29 tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular karena tertular dari ibunya. Tingginya kasus penyakit infeksi menular seksual, khususnya pada kelompok usia remaja, salah satu penyebabnya adalah tingkat pengetahuan remaja yang relatif masih rendah. Hal ini pada akhirnya akan mempengaruhi sikap remaja terhadap infeksi menular seksual.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap siswaii SMA terhadap infeksi menular seksual. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dan dilakukan dengan metode survei dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah seluruh siswai SMA. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 84 orang dengan tingat ketepatan relatif (d) sebesar 0,1. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik stratified random sampling. Sampel kemudian didistribusikan secara proposional berdasarkan tingkatan kelas. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan angket dan analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif.
Hasil uji tingkat pengetahuan dan sikap siswaii SMA terhadap infeksi menular seksual menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan siswaii SMA berada dalam kategori kurang baik (52,4%) dan sikap siswaii tersebut termasuk dalam kategori cukup baik (57,1%).
Dari hasil penelitian tersebut diharapkan pihak sekolah maupun luar sekolah dapat memberikan informasi mengenai kesehatan reproduksi dan pendidikan seks kepada siswaii tersebut.
Kata kunci: Pengetahuan, Sikap, Remaja, Infeksi menular seksual


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Infeksi menular seksual (IMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Menurut WHO (2009), terdapat lebih kurang 30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan parasit) yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea, chlamydia, syphilis, trichomoniasis, chancroid, herpes genitalis, infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan hepatitis B. Beberapa diantaranya, yakni HIV dan syphilis, dapat juga ditularkan dari ibu ke anaknya selama kehamilan dan kelahiran, dan melalui darah serta jaringan tubuh.
Sampai sekarang, infeksi menular seksual masih menjadi masalah kesehatan, sosial maupun ekonomi di berbagai negara (WHO, 2003). Peningkatan insidens infeksi menular seksual dan penyebarannya di seluruh dunia tidak dapat diperkirakan secara tepat. Di beberapa negara disebutkan bahwa pelaksanaan program penyuluhan yang intensif akan menurunkan insidens infeksi menular seksual atau paling tidak insidensnya relatif tetap. Namun demikian, di sebagian besar negara insidens infeksi menular seksual relatif masih tinggi (Hakim, 2003). Angka penyebarannya sulit ditelusuri sumbernya, sebab tidak pernah dilakukan registrasi terhadap penderita yang ditemukan. Jumlah penderita yang terdata hanya sebagian kecil dari penderita sesungguhnya (Lestari, 2008).
Di Indonesia, infeksi menular seksual yang paling banyak ditemukan adalah syphilis dan gonorrhea. Prevalensi infeksi menular seksual di Indonesia sangat tinggi ditemukan di kota Bandung, yakni dengan prevalensi infeksi gonorrhea sebanyak 37,4%, chlamydia 34,5%, dan syphilis 25,2%; Di kota Surabaya prevalensi infeksi chlamydia 33,7%, syphilis 28,8% dan gonorrhea 19,8%; Sedang di Jakarta prevalensi infeksi gonorrhea 29,8%, syphilis 25,2% dan chlamydia 22,7%. Di, kejadian syphilis terus meningkat setiap tahun. Peningkatan penyakit ini terbukti sejak tahun 2003 meningkat 15,4% sedangkan pada tahun 2004 terus menunjukkan peningkatan menjadi 18,9%, sementara pada tahun 2005 meningkat menjadi 22,1%. Setiap orang bisa tertular penyakit menular seksual. Kecenderungan kian meningkatnya penyebaran penyakit ini disebabkan perilaku seksual yang bergonta-ganti pasangan, dan adanya hubungan seksual pranikah dan diluar nikah yang cukup tinggi. Kebanyakan penderita penyakit menular seksual adalah remaja usia 15-29 tahun, tetapi ada juga bayi yang tertular karena tertular dari ibunya (Lestari, 2008).
Tingginya kasus penyakit infeksi menular seksual, khususnya pada kelompok usia remaja, salah satu penyebabnya adalah akibat pergaulan bebas. Sekarang ini di kalangan remaja pergaulan bebas semakin meningkat terutama di kota-kota besar. Hasil penelitian di 12 kota besar di Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 10-31% remaja yang belum menikah sudah melakukan hubungan seksual. Pakar seks juga spesialis Obstetri dan Ginekologi dr. Boyke Dian Nugraha di Jakarta mengungkapkan, dari tahun ke tahun data remaja yang melakukan hubungan seks bebas semakin meningkat. Dari sekitar 5% pada tahun 1980-an, menjadi 20% pada tahun 2000. Kisaran angka tersebut didapat dari berbagai penelitian di beberapa kota besar di Indonesia. Kelompok remaja yang masuk ke dalam penelitian tersebut umumnya masih bersekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau mahasiswa. Namun dalam beberapa kasus juga terjadi pada anak-anak yang duduk di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) (Rauf, 2008).
Pengetahuan tentang infeksi menular seksual dapat ditingkatkan dengan pemberian pendidikan kesehatan reproduksi yang dimulai pada usia remaja. Pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan remaja bukan hanya memberikan
pengetahuan tentang organ reproduksi, tetapi juga mengenai bahaya akibat pergaulan bebas, seperti penyakit menular seksual dan kehamilan yang belum diharapkan atau kehamilan berisiko tinggi (BKKBN, 2005). Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mendapatkan bagaimana gambaran pengetahuan dan sikap remaja terhadap infeksi menular seksual agar dapat diketahui apakah diperlukan tambahan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja dalam upaya menghambat peningkatan insidens infeksi menular seksual di kalangan remaja dewasa ini.

1.2. Rumusan Masalah
Masalah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini adalah bahwa penulis ingin mengetahui:
Bagaimana gambaran pengetahuan dan sikap remaja SMA terhadap infeksi menular seksual?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap remaja SMA terhadap infeksi menular seksual.
Tujuan Khusus •
Yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah:
1. Memperoleh informasi tentang pengetahuan remaja SMA tentang infeksi menular seksual.
2. Memperoleh informasi tentang sikap remaja SMA terhadap infeksi menular seksual.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota mengenai gambaran pengetahuan dan sikap remaja terhadap infeksi menular
seksual sehingga dapat direncanakan suatu strategi untuk menindaklanjutinya.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak sekolah dalam memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi pada kalangan remaja.
3. Sebagai bahan masukan bagi orang tua dalam upaya merangsang kepedulian orang tua terhadap pendidikan seksual anak yang dimulai pada usia remaja.
4. Sebagai bahan masukan bagi remaja dalam menyikapi hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi.

silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI SKRIPSI
GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA SMA TERHADAP INFEKSI MENULAR SEKSUAL
(isi: abstrak, Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka, kuesioner)
KLIK DIBAWAH 


Karakteristik Penderita Kanker Leher Rahim di RSUD

KTI SKRIPSI
KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER LEHER RAHIM DI RSUD

ABSTRAK
KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER LEHER RAHIM
DI RSUD KOTA PERIODE
1 JANUARI S/D 31 DESEMBER
Rata Penuh
Kanker leher rahim mempunyai insidens yang tertinggi di Negara berkembang dan di Indonesia khususnya. Di Indonesia jenis kanker ini paling sering ditemukan di antara penyakit kanker ginekologik, kejadiannya hampir 27 persen di antara penyakit kanker di Indonesia dan juga menjadi penyebab utama kematian wanita penderita kanker. Maka pengetahuan terhadap kanker pada umumnya dan kanker leher rahim pada khususnya haruslah semakin lebih baik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Karakteristik Penderita Kanker Leher Rahim di RSUD Kota Periode 1 Januari – 31 Desember, khususnya berdasarkan pada usia pasien, paritas, usia ketika menikah dan jenis kontrasepsi.
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif, secara retrospektif. Data diperoleh dari catatan medik Penderita Kanker Leher Rahim di RSUD ............ Kota Kedir Periode 1 Januari – 31 Desember. Pada periode tersebut tercatat ada 19 orang penderita.
Hasil penelitian didapatkan dari 19 penderita berdasarkan karakteristik yang menjadi faktor resiko yaitu pada wanita yang berusia 36 – 55 tahun (94,74%) , pada mereka yang multiparitas (73,69%), pada wanita yang mempunyai riwayat menikah usia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kanker leher rahim merupakan kanker yang terjadi pada serviks uterus, yaitu suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina). Kanker ini terjadi pada wanita yang telah berumur, tetapi bukti statistik menunjukkan bahwa kanker leher rahim dapat juga menyerang wanita yang berumur antara 20 sampai 30 tahun (Yohanes R, 1999)
Penyebab kanker leher rahim belum diketahui secara pasti. Ada beberapa hal yang diduga dapat menambah resiko timbulnya kanker leher rahim, diantara yang penting jarang ditemukan pada perawan (virgo), insiden lebih tinggi pada mereka yang sudah kawin daripada yang belum kawin, insiden meningkat dengan tingginya paritas, apalagi jika jarak persalinan terlalu dekat, mereka yang dalam golongan sosial ekonomi rendah, aktivitas seksualnya sering berganti-ganti pasangan (promiskuitas), higiene seksual yang jelek, jarang dijumpai pada masyarakat yang suaminya disunat (sirkumsisi), dan sering dijumpai pada wanita yang mengalami infeksi virus HPV (Human Papilloma Virus) tipe 16 atau 18, pada gadis yang koitus pertama (coitarche) dialami pada usia amat muda

1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah karakteristik penderita kanker leher rahim di RSUD Kota periode 1 Januari s/d 31 Desember ?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui karakteristik penderita kanker leher rahim di RSUD Kota mulai periode 1 Januari s/d 31 Desember .
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karakteristik penderita kanker leher rahim berdasarkan usia pasien.
2. Mengetahui karakteristik penderita kanker leher rahim berdasarkan paritas.
3. Mengetahui karakteristik penderita kanker leher rahim berdasarkan usia ketika menikah.
4. Mengetahui karakteristik penderita kanker leher rahim berdasarkan jenis kontrasepsi yang digunakan.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Dapat menerapkan teori riset kebidanan tentang karakteristik penderita kanker leher rahim.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan dalam memberikan pengetahuan dan informasi dari hasil penelitian untuk dikembangkan pada penelitian selanjutnya.
1.4.3 Bagi Tempat Penelitian
Diharapkan dapat menjadi masukan untuk meningkatkan pelayanan terhadap kanker leher rahim.

silahkan download KTI SKRIPSI
KARAKTERISTIK PENDERITA KANKER LEHER RAHIM DI RSUD
KLIK DIBAWAH 


Hubungan Antara Pengetahuan Orang Tua tentang Pemberian Makan Kepada Anak dengan Kejadian Obesitas pada Balita

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG PEMBERIAN MAKAN KEPADA ANAK DENGAN KEJADIAN OBESITAS PADA BALITA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pemberian nutrisi secara seimbang pada anak harus dimulai sejak dalam kandungan, yaitu dengan pemberian nutrisi yang cukup memadai pada ibu hamil. Setelah lahir harus diupayakan pemberian ASI secara eksklusif, yaitu pemberian ASI saja sampai anak berumur 6 bulan. Sejak berumur 6 bulan, anak diberikan tambahan atau pendamping ASI (PASI). Pemberian PASI ini penting untuk melatih kebiasaan makan yang baik dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang meningkat pada masa bayi dan prasekolah. Karena pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi adalah sangat pesat, terutama pertumbuhan otak (Nursalam,dkk.2005).
Namun tidak selamanya nutrisi pada anak terpenuhi dengan seimbang. Kondisi ini menimbulkan perbedaan keadaan gizi antara anak yang satu dengan anak yang lain. Ada kalanya anak memiliki keadaan gizi lebih, keadaan gizi baik, dan keadaan gizi buruk. Keadaan gizi baik akan dapat dicapai dengan pemberian makanan yang seimbang bagi tubuh menurut kebutuhan. Sedangkan gizi lebih atau gizi kurang terjadi bila pemberian makanan tidak seimbang menurut kebutuhan anak.
Obesitas merupakan kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan (Damayanti, 2004). Secara umum, kegemukan (obesitas) disebabkan oleh tidak seimbangnya energi dari makanan dengan kalori yang dikeluarkan. Kondisi ini akibat interaksi beberapa faktor, yaitu keluarga, penggunaan energi, dan keturunan (yatim, 2005).
Terdapat 3 faktor yang berpengaruh terhadap berkembangnya obesitas, yaitu genetik, lingkungan dan neuro (Juanita, 2004). Namun, berdasarkan hasil penelitian Badan International Obeysitas Task Force (ITF) dari badan WHO yang mengurusi anak yang kegemukan, 99% anak obesitas karena faktor lingkungan, sedangkan yang dianggap genetik biasanya bukan genetik tetapi akibat faktor lingkungan (Darmono, 2006). Faktor lingkungan ini dipengaruhi oleh aktifitas dan pola makan orang tua anak, misal pola makan bapak dan ibunya tidak teratur menurun pada anak, karena di lingkungan itu tidak menyediakan makanan yang tinggi energi, bahkan aktifitas dalam keluarga juga mendukung (Darmono, 2006).
Komplikasi dari anak – anak yang mengalami obesitas, bisa terjadi diabetes tipe 2 yang resisten terhadap insulin, sindrom metabolisme, muncul tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan tingkat blood lipid yang abnormal (Fauzin, 2006).
Menurut Roskitt dan Clair yang dikutip oleh Subardja D, 2004, “obesitas pada anak merupakan cikal bakal terjadinya penyakit degeneratif kardiovaskuler, Diabetes Mellitus, dan penyakit degeneratif lainnya yang dapat timbul sebelum atau setelah masa dewasa”.
Di Indonesia, angka kejadian obesitas terus meningkat, hal ini disebabkan perubahan pola makan serta pandangan masyarakat yang keliru bahwa sehat adalah identik dengan gemuk (Soetjiningsih, 1998). Kurangnya pengetahuan dan salah persepsi tentang kebutuhan makanan dan nilai makanan juga merupakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi seseorang (Budiyanto, 2004). Obesitas yang terjadi sebelum umur 5 tahun mempunyai kecenderungan tetap gemuk pada waktu dewasa, dari pada yang terjadi sesudahnya (Soetjiningsih, 1998).
Peningkatan prevalensi obesitas ini terjadi di Negara maju maupun berkembang. Menurut Damayanti, 2004 prevalensi obesitas pada anak usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir naik dari 7,6 – 10,8% menjadi 13-14%. Sedangkan anak sekolah di Singapura naik dari 9% menjadi 19 %.
Mengutip Survey Kesehatan Nasional, di Indonesia prevalensi obesitas pada balita juga naik. Prevalensi obesitas pada tahun 1992 sebanyak 1,26% dan 4,58% pada 1999. Sedangkan berdasarkan data RSU Dr. bagian anak menyebutkan jumlah anak kegemukan (obesitas) 8% pada tahun 2004 dan menjadi 11,5% pada tahun 2005.
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di, dari 122 siswa didapatkan data anak yang mempunyai status gizi Lebih (obesitas) sebanyak 21 orang atau 17,2%.
Melihat dari uraian di atas masalah yang terjadi adalah kejadian obesitas pada anak dan balita terus meningkat, serta kurangnya pengetahuan orang tua tentang pemberian makan kepada anak. Pengetahuan yang kurang ini dapat menyebabkan perilaku yang salah dalam memberikan dan mengawasi pola makan anaknya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang “Hubungan antara pengetahuan orang tua tentang pemberian makan kepada anak dengan kejadian obesitas pada balita”.

1.2 Rumusan masalah
Apakah ada hubungan antara pengetahuan orang tua tentang pemberian makan kepada anak dengan kejadian obesitas pada balita?

1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk menganalisis hubungan antara pengetahuan orang tua tentang pemberian makan kepada anak dengan kejadian obesitas pada balita.
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi pengetahuan orang tua dari balita yang obesitas dan balita yang tidak obesitas di  tentang pemberian makan kepada anak
1.3.2.2 Mengidentifikasi kejadian obesitas pada balita di
1.3.2.3 Menganalisis hubungan antara pengetahuan orang tua tentang pemberian makan kepada anak dengan kejadian obesitas pada balita di .

1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi program kesehatan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pembinaan dan pelatihan serta pioritas program dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat dan penanggulangan kasus obesitas di masyarakat, khususnya pada balita.
1.4.2 Bagi Ilmu Pengetahuan
Menambah kajian baru ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan dan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan penelitian selanjutnya
1.4.3 Bagi penulis
Penulis dapat mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh selama di bangku kuliah dalam kehidupan yang nyata di tengah-tengah masyarakat.
1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan/ sumber rujuan bagi penelitian – penelitian selanjutnya.

silahkan download dalam bentuk dokumen word KTI SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG PEMBERIAN MAKAN KEPADA ANAK DENGAN KEJADIAN OBESITAS PADA BALITA
(isi: Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka, kuesioner)
KLIK DIBAWAH 


Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Pemantauan Pertumbuhan di Posyandu dengan Pertumbuhan Berat Badan pada Balita Usia 0–60 Bulan di Desa

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMANTAUAN PERTUMBUHAN
DI POSYANDU DENGAN PERTUMBUHAN BERAT BADAN
PADA BALITA USIA 0–60 BULAN DI DESA

Masa bayi dan balita bahkan sejak dalam kandungan adalah periode emas karena jika pada masa tersebut pertumbuhan dan perkembangan balita tidak dipantau dengan baik dan mengalami gangguan tidak akan dapat diperbaiki pada periode selanjutnya. Sehingga perlu dilakukan pemantauaan pertumbuhan rutin pada pertumbuhan balita sehingga dapat terdeteksi apabila ada penyimpangan pertumbuhan dan dapat dilakukan penanggulangan sedini mungkin. Pengetahuan ibu tentang pemantaun ibu tentang permasalahan pertumbuhan juga sangat berperan penting dalam pertumbuhan balita, karena dengan pengetahuan ibu dengan baik maka diharapkan pemantauan balita dapat dilakukan dengan baik pula.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang pematuan pertubuhan di posyandu dengan pertubuhan balita dengan usia 0-60 bulan di Desa Wonosari Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah cross sectional dengan populasi semua ibu balita yang mempunyai balita usia 0-60 bulan di Desa Wonosari. Dengan sample semua ibu yang mempunyai balita usia 0-60 bulan.Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling, terdapat dua variable bebas penelitian ini adalah pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan balita di Posyandu. Variabel terikatnya adalah pertubuhan berat badan pada balita 0-60 bulan. Variable diukur dalam waktu bersamaan. Instrumen penelitian ini adalah angket dan timbangan dacin. Data yang diperoleh di tabulasi kemudian dianalisa dengan uji korelasi jenjang yang diungkapkan oleh spearman. Dengan intervel kepercayaan 95%.
Hasil dari penelitian ini di simpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan di posyandu dengan pertubuhan berat badan pada balita usia 0-60 bulan di Desa Wonosari Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri.
Kata kunci : pengetahuan, ibu, pemantauan, pertumbuhan,berat badan, balita


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Masa bayi dan balita bahkan sejak dalam kandungan adalah periode emas karena jika pada masa tersebut pertumbuhan dan perkembangan balita tidak dipantau dengan baik dan mengalami gangguan tidak akan dapat diperbaiki pada periode selanjutnya (Thire, John. 2006). Sehingga perlu dilakukan pemantauaan pertumbuhan rutin pada pertumbuhan balita sehingga dapat terdeteksi apabila ada penyimpangan pertumbuhan dan dapat dilakukan penanggulangan sedini mungkin sehingga tidak terjadi gangguan pada proses tumbuh kembang balita. Salah satu tempat pemantauan pertumbuhan balita yaitu di posyandu.
Posyandu merupakan layanan kesehatan masyarakat, yang mempunyai salah satu kegiatan penimbangan balita. Tujuan penimbangan balita tiap bulan yaitu untuk memantau pertumbuhan balita sehingga dapat sedini mungkin diketahui penyimpangan pertumbuhan balita. Akan tetapi saat ini keaktifan ibu dalam memonitoring pertumbuhan anaknya mengalami penurunan. Adanya kasus penyimpangan pertumbuhan balita yaitu kejadian gizi buruk yang bermunculan di seluruh wilayah Indonesia salah satunya diakibatkannya penurunan pemantauan pertumbuhan di posyandu. (Departemen Kesehatan RI. 2007 : VII). Salah satu faktor yang mendorong penurunan pemantauan pertumbuhan balita di posyandu adalah karena ketidak tahuan ibu terhadap manfaat menimbangkan anaknya di posyandu (Poedji, Hastuti. 2007). Oleh sebab itu pemerintah Republik Indonesia menghimbau untuk segera menghidupkan posyandu kembali sampai kedesa, karena posyandu merupakan garda terdepan dalam memonitor pertumbuhan balita (Cessnasari. 2006).
Menurut data Dinas Kesehatan Jawa Timur menyebutkan jumlah posyandu pada tahun 2005 di Jawa Timur sebanyak 43.672 buah dan pada tahun 2006 jumlah posyandu 44.355 buah (Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2007). Keberhasilan posyandu tergambar melalui cakupan SKDN dimana (S) merupakan seluruh jumlah balita di wilayah kerja posyandu, (K) jumlah semua balita yang memiliki KMS, (D) balita yang ditimbang, (N) balita yang berat badannya naik. Dari data D/S tergambar baik atau kurangnya peran serta masyarakat dalam penggunaan posyandu (Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2004). Pertumbuhan balita yang baik apabila beratnya naik tiap bulan. Menurut data dari Indonesia family life survey atau IFLS menunjukkan keaktifan masyarakat dalam melakukan monitoring perkembangan balita mengalami penurunan dimana terjadi penurunan sebesar 12% terhadap penggunaan posyandu dalam rentang tahun 1997-2007. Dari data Dinas Kesehatan Jawa Timur pada tahun 2006 diperoleh cakupan penimbangan balita (D/S) sebesar 66,36%.Untuk Kabupaten Kediri jumlah D/S pada tahun 2005 sebesar 67,86% (Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri. 2005)sedangkan bulan Januari sampai bulan Maret 2009 D/S sebesar 71,70% (Dinas Kesehatan kabupaten Kediri. 2009, Untuk kecamatan Pagu cakupan D/S pada bulan februari sebesar 83,17% dan mengalami penurunan pada bulan Maret 2009 menjadi 76,19% dan untuk desa Wonosari D/S bulan Februari sebesar 72,4% dan untuk bulan maret mengalami penurunan menjadi 57,87%. Hal ini menunjukkan pemanfaatan posyandu oleh masyarakat kurang karena target D/S sebanyak 80%. Untuk kabupaten Kediri jumlah balita yang naik berat badannya (N/D) pada bulan Januari sampai Maret 2009 sebanyak 67,89%(Dinas Kesehatan Kediri. 2009). Untuk kecamatan Pagu jumlah balita yang berat badannya naik (N/D) pada bulan februari 2009 sebesar 74,64% mengalami penurunan pada bulan Maret tahun 2009 menjadi 56,12% dan untuk desa Wonosari N/D pada bulan Februari 2009 sebesar 72,58% mengalami penurunan pada bulan Maret 2009 menjadi 67,08%. Hal ini menunjukkan kurangnya cakupan pertumbuhan balita, karena target N/D sebesar 80%.
Partisipasi masyarakat sangat penting agar posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya sebagai unit pemantau tumbuh kembang anak, serta menyampaikan pesan kepada ibu sebagai agen pembaharuan dan anggota keluarga yang memiliki bayi dan balita dengan mengupayakan bagaimana memelihara anak secara baik yang mendukung tumbuh kembang anak sesuai potensinya (Kinasih, Sekar. 2006).
Dari uraian di atas tercermin adanya partisipasi masyarakat untuk memanfaatkan posyandu masih kurang. Sehingga saya tertarik untuk mengambil penelitian dengan judul “Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Pemantauan Pertumbuhan di Posyandu dengan Pertumbuhan Berat Badan Pada Balita Usia 0-60 Bulan di Desa Wonosari, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri”.

1.2. Rumusan Masalah
“Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan di posyandu dengan pertumbuhan berat badan pada balita usia 0- 60 bulan?”.

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan di posyandu dengan pertumbuhan berat badan pada balita usia 0-60 bulan.
1.3.2. Tujuan Khusus
- Mengetahui pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan posyandu.
- Mengetahui pertumbuhan berat badan pada balita usia 0-60 bulan. - Menganalisa hubungan pengetahuan ibu tentang pemantauan
- pertumbuhan di posyandu dengan pertumbuhan berat badan pada
balita usia 0-60 bulan

1.4. Manfaat
1.4.1. Bagi Peneliti
Meningkatkan pemahaman peneliti mengenai hubungan pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan di posyandu dengan pertumbuhan berat badan pada balita usia 0-60 bulan
1.4.2. Bagi Tempat Penelitian
1.4.2.1 Diperoleh data pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan di posyandu dan pertumbuhan berat badan pada balita usia 0-60 bulan di tempat tersebut.
1.4.2.2 Sebagai masukan bagi tempat penelitian supaya dapat memberikan suatu tindak lanjut apabila terjadi masalah dengan pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan di posyandu dan pertumbuhan berat badan pada balita usia 0-60 bulan di tempat tersebut
1.4.3. Bagi Institusi Prodi Kebidanan Kediri
Dapat sebagai bahan masukan bagi institusi Prodi kebidanan Kediri sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan hubungan pengetahuan ibu tentang pemantauan pertumbuhan di posyandu dan pertumbuhan berat badan pada balita usia 0-60 bulan.

silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PEMANTAUAN PERTUMBUHAN DI POSYANDU DENGAN PERTUMBUHAN BERAT BADAN PADA BALITA USIA 0–60 BULAN DI DESA
KLIK DIBAWAH 

Hubungan Kepuasan Ibu Hamil pada Pelayanan Antenatal Care oleh Bidan dengan Motivasi Melakukan Antenatal

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN KEPUASAN IBU HAMIL PADA PELAYANAN ANTENATAL CARE OLEH BIDAN DENGAN MOTIVASI MELAKUKAN ANTENATAL

ABSTRAK
Judul : Hubungan Kepuasan Ibu Hamil Pada Pelayanan Antenatal
care oleh Bidan dengan Motivasi Melakukan Antenatal care di Bidan Tersebut di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kabupaten

Tahun Penelitian : 2010
Kepuasan pasien sering dipandang sebagai suatu komponen yang penting dalam pelayanan kesehatan. Keramahan dan kenikmatan berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan klinis dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan ketersediaannya untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan berikutnya. Umumnya fasilitas layanan milik pemerintah kurang/ tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah bahwa umumnya mutu layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah masih belum atau tidak memenuhi harapan pasien dan atau masyarakat.
Penelitian dilaksanakan tanggal 14 -18 Juli 2010 dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui hubungan antara kepuasan bumil pada pelayanan antenatal care oleh bidan dengan motivasi melakukan antenatal care.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian metode korelasi yang bersifat cross Sectional dengan sampelnya yaitu sebagian ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Ngasem. Teknik samplingnya adalah Accidental Sampling dan variabel yang digunakan yaitu variabel bebas adalah kepuasan ibu hamil dan variabel tergantung adalah motivasi ibu hamil. Metode pengumpulan data dengan kuesioner. Hasil analisa dari 12 responden dengan menggunakan analisis korelasi Spearman Rank, didapatkan hasil bahwa ρ hitung 0,67 dan harga ρ tabel 0,59 1 maka terlihat bahwa ρ hitung lebih besar dari ρ tabel yang berarti ada hubungan antara kepuasan ibu hamil pada pelayanan antenatal care oleh bidan dengan motivasi melakukan antenatal care di bidan tersebut.
Kata Kunci: Kepuasan, Ibu Hamil, Antenatal care, Bidan, Motivasi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Masalah kematian dan kesakitan ibu di Indonesia masih merupakan masalah besar. Kenyataannya bahwa angka kematian ibu di Indonesia masih yang tertinggi di Asean. Data terakhir di BPS adalah sebesar 253 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2006, Sedangkan Laporan Pembangunan Manusia tahun 2000 menyebutan angka kematian ibu di Malaysia jauh dibawah Indonesia yaitu 41 per 100 ribu kelahiran hidup, Filiphina 170 per 100 ribu kelahiran hidup,Vietnam 160 ribu per 100 ribu kelahiran hidup (Andra, 2007). Angka kematian ibu di masih cukup tinggi yaitu 122 orang per 100 ribu kelahiran hidup (Mubarok, 2007). Penyebab utama kematian disebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas (Sarwono P, 2002).
Perdarahan menjadi penyebab utama kematian ibu di Indonesia, penyebab kedua adalah eklamsia lalu infeksi. Semua hal ini bertanggung jawab terhadap hampir 70 % kematian ibu yang merupakan penyebab langsung. Resiko kematian ibu melahirkan juga diperburuk dengan adanya penyakit yang mungkin diderita ibu hamil seperti Tuberkulosis, HIV/AIDS, anemia dan malaria. Laporan Depkes mengatakan prevalensi anemia pada ibu hamil masih sangat tinggi, yaitu 50 %. Faktor-faktor diatas merupakan penyebab langsung kematian ibu melahirkan, tetapi penyebab kematian dapat diminimalkan dengan antenatal care yang memantau kondisi kehamilan ibu secara teratur dapat memprediksi resiko yang mungkin timbul hingga dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan. Pemantauan kesehatan selama kehamilan baik untuk keadaan normal maupun darurat serta pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih memainkan peran penting dalam menekan angka kematian ibu (Andra, 2007).
Penggunaan fasilitas pelayanan untuk pemeriksaan kesehatan selama kehamilan, ditemukan lebih dari 83 persen wanita memeriksakan kesehatan selama kehamilan di fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. Angka ini masih lebih rendah dari target cakupan antenatal care yang ditetapkan oleh PROPENAS yang diharapkan menjadi 90% pada tahun 2004. Pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagai tempat pemeriksaan kehamilan terendah dijumpai di kabupaten Sampang (78%) dan Cilacap (86%), sedangkan yang tertinggi di Jombang (96%). (Ridwan A, 2007).
Kepuasan pasien sering dipandang sebagai suatu komponen yang penting dalam pelayanan kesehatan. Keramahan dan kenikmatan berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan klinis dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan ketersediaannya untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan berikutnya. (Djoko W , 2003). Umumnya fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah kurang/ tidak dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah bahwa umumnya mutu layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah masih belum atau tidak memenuhi harapan pasien dan atau masyarkat. (Pohan I, 2006).
Salah satu aspek yang paling penting dalam asuhan antenatal adalah dengan membina hubungan saling percaya dengan ibu dan keluarganya. Jika seorang ibu mempercayai bidan, maka kemungkinan besar ia akan kembali ke bidan yang sama untuk persalinan dan kelahiran bayinya. (Pusdiknakes, 2003).
Studi pendahuluan, pada bulan Januari - Maret 2010 di desa Sumberejo terdapat 33 ibu hamil. Didapatkan oleh peneliti hanya 21 ibu hamil yang periksa hamil. Dilakukan pengkajian lebih lanjut dengan wawancara, dari 11 ibu hamil yang tidak periksa 8 diantaranya mengatakan tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan bidan, karena bidan kurang menyeluruh dalam melakukan pemeriksaan yaitu tidak memeriksa tekanan darah, bidan dalam memberikan penjelasan/konseling kurang jelas, dan pemeriksaannya tidak lengkap dari kepala sampai kaki. Berdasarkan fenomena di atas penulis ingin mengetahui apakah ada hubungan kepuasan ibu hamil pada pelayanan antenatal care oleh bidan dengan motivasi melakukan antenatal care di bidan tersebut.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian adalah “Adakah hubungan kepuasan ibu hamil pada pelayanan antenatal care oleh bidan dengan motivasi melakukan antenatal care di bidan tersebut di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kabupaten ?

1.3 TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah ada hubungan kepuasan ibu hamil pada pelayanan antenatal care oleh bidan dengan motivasi melakukan antenatal care di bidan tersebut.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi kepuasan ibu hamil pada pelayanan antenatal oleh Bidan.
2. Mengidentifikasi motivasi ibu hamil untuk melakukan antenatal care di bidan tersebut
3. Menganalisa hubungan kepuasan ibu hamil pada pelayanan antenatal care oleh bidan dengan motivasi untuk melakukan antenatal care di bidan tersebut.

1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Bagi Peneliti
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai penjelasan dan evaluasi tentang kepuasan ibu hamil terhadap pelayanan antenatal oleh bidan sehingga dapat melatih berfikir dan bekerja secara ilmiah terhadap suatu permasalahan.
1.4.2 Bagi Tempat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi tempat pelayanan dalam peningkatakan mutu layanan kesehatan.
1.4.3 Bagi Institusi
Sebagai tambahan dan masukan pengetahuan dan informasi serta pengembangan bagi penelitian selanjutnya mengenai hubungan kepuasan ibu hamil pada pelayanan antenatal care oleh bidan dengan motivasi melakukan antenatal care.
1.4.4 Bagi Responden
Dapat digunakan sebagai sarana penilaian kepuasan responden terhadap pelayanan kebidanan yang diberikan sehingga harapan responden tentang pelayanan antenatal dapat tercapai.

silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN KEPUASAN IBU HAMIL PADA PELAYANAN ANTENATAL CARE OLEH BIDAN DENGAN MOTIVASI MELAKUKAN ANTENATAL
KLIK DIBAWAH 


Hubungan antara Pemberian Makanan Tambahan Dini dengan Pertumbuhan Berat Badan Bayi

KTI SKRIPSI
KTI209-HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DINI DENGAN PERTUMBUHAN BERAT BADAN BAYI

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
ASI merupakan makanan alami pertama untuk bayi dan harus diberikan tanpa makanan tambahan sekurang-kurangnya sampai usia 4 bulan dan jika mungkin sampai usia 6 bulan. ASI harus menjadi makanan utama selama tahun pertama bayi dan menjadi makanan penting selama tahun kedua. ASI terus memberikan faktor-faktor anti infeksi unik yang tidak dapat diberikan oleh makanan lain (Rosidah, 2008).
Setelah usia 4 bulan sampai 6 bulan disamping ASI dapat pula diberikan makanan tambahan, namun pemberiannya harus diberikan secara tepat meliputi kapan memulai pemberian, apa yang harus diberikan, berapa jumlah yang diberikan dan frekuensi pemberian untuk menjaga kesehatan bayi (Rosidah, 2008). Sehingga saat mulai diberikan makanan tambahan harus disesuaikan dengan maturitas saluran pencernaan bayi dan kebutuhannya (Narendra, dkk, 2008).
Di negara-negara yang sudah maju seperti Eropa dan Amerika, makanan padat sebelum tahun 1970 diberikan pada bulan-bulan pertama setelah bayi dilahirkan, akan tetapi setelah tahun tersebut banyak dilaporkan tentang kemungkinan timbulnya efek sampingan jika makanan tersebut diberikan terlalu dini. Waktu yang baik untuk memulai pemberian makanan padat biasanya pada umur 4 – 5 bulan. Resiko pada pemberian sebelum umur tersebut antara lain adalah kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas (Pudjiadi, 2008).
Hasil penelitian oleh para pakar menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan balita, antara lain disebabkan kekurangan gizi sejak bayi dalam kandungan, pemberian makanan tambahan terlalu dini atau terlalu lambat, makanan tambahan tidak cukup mengandung energi dan zat gizi mikro terutama mineral besi dan seng, perawatan bayi yang kurang memadai dan ibu tidak berhasil memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Supriyono, 2008).
Menurut Cesilia M. Reveriani, pakar gizi anak Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menguraikan hasil survey penggunaan makanan pendamping ASI sekitar 49% bayi sebelum usia 4 bulan sudah diberi susu formula, 45,1% makanan cair selain susu formula dan 50% makanan padat. Pemberian susu formula makanan pendamping ASI cair dan yang diberikan pada bayi kurang dari 4 bulan cenderung dengan intensitas atau frekuensi yang sangat tinggi sehingga dapat membahayakan dan berakibat kurang baik pada anak, yang dampaknya adalah kerusakan pada usus bayi. Karena pada umur demikian usus belum siap mencerna dengan baik sehingga pertumbuhan berat badan bayi terganggu, antara lain adalah kenaikan berat badan yang terlalu cepat sehingga ke obesitas dan malnutrisi.
Pada Indonesia sehat 2010, target ASI eksklusif selama 4 bulan adalah 80%. Penelitian di Kabupaten tahun 2008 menunjukkan sebagian besar responden (59%) memberikan makanan tambahan sebelum bayi berusia 4 bulan dan 41% memberikan makanan tambahan kepada bayinya saat bayi berusia 4 bulan atau lebih (Supriyono, 2008).
Di Indonesia terutama di daerah pedesaan sering kita jumpai pemberian makanan tambahan mulai beberapa hari setelah bayi lahir. Kebiasaan ini kurang baik karena pemberian makanan tambahan dini dapat mengakibatkan bayi lebih sering menderita diare, mudah alergi terhadap zat makanan tertentu, terjadi malnutrisi atau gangguan pertumbuhan anak, produksi ASI menurun (Narendra, dkk, 2008).
Pada dasarnya dapat diharapkan bahwa bayi tidak akan makan secara berlebihan yaitu diberi makanan tambahan dini karena akan berakibat penambahan berat badan berlebihan (Behrman dan Vaughan, 2005).
Data dari Dinas Kesehatan Kota tahun 2008 menunjukkan bahwa dari 48.974 bayi, 16.729 bayi (33,11%) sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan, di kecamatan Mulyorejo dari 1.603 bayi, 1.254 bayi (78,23%) sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan. Dan di BPS saat penelitian pendahuluan pada bulan Mei 2010 dari 10 bayi, 7 bayi (70%) diantaranya sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :
Adakah hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi pemberian makanan tambahan.
1.3.2.2 Mengidentifikasi pertumbuhan berat badan bayi usia 4 bulan.
1.3.2.3 Menganalisa hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Menambah wawasan peneliti dalam mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan tentang pemberian makanan tambahan.
1.4.2 Bagi BPS
Sebagai bahan masukan bagi BPS dalam menggalakkan KIE program ASI eksklusif dan pemberian makanan tambahan.
1.4.3 Bagi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Menambah wawasan dalam bidang gizi mengenai hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi

silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI SKRIPSI
KTI209-HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DINI DENGAN PERTUMBUHAN BERAT BADAN BAYI
KLIK DIBAWAH 


Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Penyakit Pneumonia pada Balita di Puskesmas

KTI KEBIDANAN / KEPERAWATAN
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Gangguan pada system pernafasan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernafasan jauh lebih sering terjadi dibandingkan dengan infeksi pada system organ tubuh lain dan berkisar dari flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relative ringan sampai Pneumonia berat.
Pneumonia adalah radang paru-paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing(1). Jadi kesimpulannya Pneumonia adalah radang paru yang dimana terdapat konsolidasi yang disebabkan pengisian rongga alveoli atau bronkus oleh eksudat yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Data yang diperoleh dari WHO dan UNICEF 50 persen dari pneumonia disebabkan oleh kuman ‘sterptokokus pneumonia’ (IPD) dan 30 persen oleh Haemophylus Influenza type B (HIB), sisanya oleh virus dan penyebab lain secara global, sekitar 1,6 juta kematian setiap tahun disebabkan oleh penyakit ‘streptokokus pneumonia’, didalamnya 700.000 hingga 1 (satu) juta balita terutama berasal dari Negara berkembang. Secara nasional angka kejadian pneumonia belum diketahui secara pasti data yang ada baru berasal dari laporan Subdit ISPA Ditjen P2M-PL Depkes RI tahun 2007 dari 31 provinsi ditemukan 477.429 balita dengan pneumonia atau 21,52 persen dari jumlah seluruh balita di Indonesia.
Data Ibu yang mempunyai balita di Puskesmas ....... Kabupaten ......... selama 6 bulan (Juli-Desember 2009) dengan rincian Juli 3156 Ibu, Agustus 3156, September 3156, Oktober 3182, Nopember 3162, Desember 3155 Ibu yang mempunyai balita.
Data yang diperoleh di Puskesmas ....... Kabupaten ......... di Ruang MTBS dari bulan Juli 2009 sampai dengan Desember 2009 berjumlah 113 kasus, dengan rincian. Pada bulan Juli 15 balita, Agustus 12 balita, September 22 balita, Oktober 15 balita, November 25 balita dan Desember 24 balita yang menderita penyakit pneumonia yang berobat ke ruang MTBS Puskesmas ....... Kabupaten ..........
Menurut data yang penulis ketahui yang didapat di ruangan MTBS Puskesmas ....... Kabupaten ......... terdapat 113 balita usia 1-5 tahun yang terdaftar pernah berobat ke bagian MTBS Puskesmas ....... Kabupaten ......... pada 6 bulan terakhir dari Juli-Desember 2009. Dari 113 balita penderita pneumonia tidak ada penderita yang dirujuk ataupun meninggal, hanya mengikuti pengobatan di bagian MTBS Puskesmas ....... Kabupaten ..........
Dilihat dari data yang diperoleh selama 6 bulan dari Juli-Desember 2009 yaitu 113 kasus, angka kejadian cenderung meningkat atau tetap tidak ada penurunan. Dan banyaknya angka kejadian penyakit pneumonia di puskesmas ....... bisa disebabkan diantaranya tingkat pendidikan responden yang dari pengamatan langsung di lapangan didapatkan informasi bahwa sebagian besar pendidikan ibu-ibu yang mempunyai balita dengan penyakit pneumonia di Puskesmas ....... hanya tamatan SD (Sekolah Dasar). Sehingga penulis mengambil kesimpulan bahwa adanya banyak angka kejadian penyakit pneumonia dikarenakan kurangnya gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia.
Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya termasuk manusia dan kehidupannya. Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu(9).
Apa bila ibu yang mempunyai pengetahuan baik maka akan bersifat langgeng dalam arti ibu yang mempunyai balita dapat mengatasi permasalahan ataupun menangani apabila balitanya mengalami penyakit pneumonia dan begitupun sebaliknya apabila ibu yang mempunyai pengetahuan yang buruk maka akan bersifat tidak langgeng dalam arti ibu yang mempunyai balita tidak dapat mengatasi permasalahan ataupun menangani apabila balitanya mengalami penyakit pneumonia.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti bergerak untuk meneliti tentang gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010”?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas ....... Kabupaten ..........
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang pengertian penyakit pneumonia pada balita ( 1-5 tahun ) di Puskesmas ....... Kabupeten ......... tahun 2010.
b. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang penyebab penyakit pneumonia pada balita ( 1-5 tahun ) di Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010.
c. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang penatalaksanaan dari penyakit pneumonia di Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010.


1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak antara lain :
1.4.1 Bagi Instansi Pendidikan
Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan literature tambahan bagi instansi pendidikan khususnya instansi kesehatan untuk mengembangkan tentang penyakit pneumonia.
1.4.2 Bagi Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan untuk dapat meningkatkan upaya pelayanan kesehatan pada masyarakat tentang penyakit pneumonia.
1.4.3 Bagi Responden
Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan pada ibu-ibu tentang penyakit pneumonia pada balita.

1.5 Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini membahas tentang bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia di Puskesmas ....... Kabupaten ......... yang meliputi pengertian, penyebab dan penatalaksanaan dipandang dari sudut ilmu keperawatan.


silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI KEBIDANAN
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS
(isi: Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka)
KLIK DIBAWAH 

Rabu, 13 April 2011

Hubungan Karakteristik Ibu Hamil dengan Pengetahuan Asupan Makanan Bergizi di Desa

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU HAMIL DENGAN PENGETAHUAN
ASUPAN MAKANAN BERGIZI DI DESA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perbaikan gizi diselenggarakan untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan gizi. Perbaikan gizi meliputi upaya peningkatan status dan mutu gizi, pencegahan, penyembuhan, dan pemulihan akibat gizi salah. (Undang-undang RI No. 29 Tahun 2004).
Secara klasik kata gizi hanya dihubungkan dengan kesehatan tubuh, yaitu untuk menyediakan energi membangun dan memelihara jaringan tubuh, serta mengatur proses-proses kehidupan dalam tubuh. Tetapi sekarang kata gizi mempunyai pengertian lebih luas disamping untuk kesehatan, gizi dikaitkan dengan potensi ekonomi seseorang karena gizi berkaitan dengan perkembangan otak, kemampuan belajar dan produktivitas kerja (Almatsier, 2001).
Sejak zaman purba manusia telah menyadari pentingnya makanan untuk kelangsungan hidupnya. Pada tahun 400 sebelum Masehi, Hipocrates Bapak Ilmu Kedokteran mengibaratkan makanan sebagai panas yang dibutuhkan oleh setiap manusia. (Almatsier, 2001).
Antonie Lavoisier (1743-1794) seorang ahli kimia dari Prancis yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Gizi merupakan orang pertama yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan energi makanan yang meliputi proses pernapasan, oksidasi dan kalorimetri.Magandie seorang ahli kimia Prancis pada awal abad ke-19 untuk pertama kali dapat membedakan antara berbagai macam zat gizi dalam bahan makanan, yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Pada awal abad ke-19 dikembangkan cara-cara penentuan karbon, hidrogen, dan nitrogen di dalam ikatan-ikatan organik. Liebig (1803-1873) seorang ahli kimia dari Jerman menemukan bahwa karbohidrat, lemak dan protein dioksidasi dalam tubuh dan menghasilkan panas atau energi. Ia menghitung nilai energi beberapa bahan makanan dan menyimpulkan bahwa makanan seimbang harus mengandung protein, karbohidrat dan lemak. Pada abad ke-20 banyaknya penelitian yang dilakukan tentang pertukaran energi dan sifat-sifat bahan makanan pokok, komposisi karbohidrat, lemak, protein serat, air dan abu. (Almatsier, 2001).
Banyaknya perbedaan kebutuhan energi selama hamil maka WHO menganjurkan jumlah tambahan sebesar 150 kkal sehari pada trimester 1, 35 kkal sehari pada trimester 2 dan 3, sedangkan di Kanada penambahan trimester 1 sebesar 100 kkal dan 300 kkal untuk trimester 2 dan 3. Sementara di Indonesia berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI tahun 1998 ditentukan angka 2.300 kkal/hari selama kehamilan angka ini tentunya tidak termasuk penambahan akibat perubahan temperatur ruangan, kegiatan fisik dan pertumbuhan, patokan ini berlaku bagi mereka yang tidak menambah kegiatan fisik selama hamil. Sejak abad ke-16 telah diketahui bahwa janin dalam kandungan membutuhkan zat-zat gizi dan hanya ibu yang dapat memberikannya oleh sebab itu makanan ibu hamil harus cukup untuk berdua, yaitu untuk ibu dan anak yang dalam kandungannya. Makanan yang cukup mengandung zat-zat gizi selama hamil sangat penting artinya. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila jumlah makanannya dikurangi maka berat bayi yang akan dilahirkan menjadi lebih kecil. Gizi yang adequat selama hamil akan mengurangi resiko dan komplikasi pada ibu menjamin pertumbuhan jaringan sehingga bayi baru lahir memiliki berat badan optimal. (Departemen Kesehatan RI, 1992).
Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang pada umumnya masih didominasi oleh Kurang Energi Protein (KEP), Anemia, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), kurang vitamin A dan obesitas.
Menurut Soetjiningsih (1998) status gizi ibu hamil sangat mempengaruhi pertumbuhan dalam kandungan, apabila status gizi ibu buruk, baik sebelum kehamilan dan selama kehamilan menyebabkan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), disamping itu akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan otak janin pada BBLR. Bayi baru lahir mudah terinfeksi, abortus,dan sebagainya. (Suparyasa dkk, 2001).
Untuk meningkatkan kesadaran gizi keluarga dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat terutama pada ibu hamil, yaitu dengan meningkatkan pendidikan gizi, meningkatkan surveilens gizi, penanggulangan gizi lebih, menanggulangi KEP, anemia, GAKY, kurang vitamin A dan pemberdayaan masyarakat untuk pencapaian keluarga sadar gizi. (Departemen Kesehatan RI, 2005).
Zat-zat gizi terdiri dari karbohidrat, lemak, protein, air, mineral, vitamin, dan serat.(Oenzil, 1995). Ibu hamil status gizinya pada waktu pembuahan dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandungnya. Seorang ibu yang sedang hamil mengalami kenaikan Berat Badan (BB) sebanyak 10-12 kg. Pada trimester 1 kenaikan itu hanya kurang dari 1 kg, trimester 2 +3 kg, sedangkan trimester 3 kira-kira 6 kg. Kenaikan tersebut meliputi kenaikan komponen janin yaitu pertumbuhan janin, plasenta, dan cairan amnion. (Paath dkk, 2004).
Berdasarkan data yang didapat dari profil kesehatan Kabupaten tahun jumlah ibu hamil di Kabupaten sebanyak 23.478 orang dengan ibu hamil beresiko sebanyak 1.678 orang (7,15%). Desa  merupakan salah satu desa yang ada di wilayah kecamatan dengan jumlah ibu hamil sebanyak 32 orang dengan ibu hamil beresiko sebanyak 4 orang (12,5%), sedangkan di Kecamatan sendiri jumlah ibu hamil sebanyak 844 orang dengan resiko kekurangan gizi sebanyak 168 orang ( 19,91%).
Ukuran lingkar lengan atas (LILA) <>

silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU HAMIL DENGAN PENGETAHUAN ASUPAN MAKANAN BERGIZI DI DESA
KLIK DIBAWAH 


Hubungan Karakteristik Ibu Balita dengan Tumbuh Kembang Balita Di Rw.02

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU BALITA DENGAN
TUMBUH KEMBANG BALITA DI RW.02 DESA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal (Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 Bab III Pasal 3).
Visi Indonesia sehat 2010 adalah bahwa masyarakat bangsa dan negara ditandai penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku yang sehat memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Salah satu indikator derajat kesehatan tersebut adalah angka kematian ibu dan angka kematian bayi (Profil Kesehatan Indonesia Sehat, 2010).
Visi kabupaten adalah “Kabupaten Agribisnis Termaju di Jawa Barat Tahun 2010 Berbasis Masyarakat Agamis dan Partisipatif”. Untuk menunjang pencapaian visi daerah tersebut dibutuhkan masyarakat yang sehat dan memiliki kemampuan serta akses terhadap semua program pembangunan termasuk pembangunan dalam visi “SEHAT TAHUN” (Profil Kesehatan Ibu dan Anak Tahun 2006 Kabupaten).
Proses tumbuh kembang dapat berlangsung normal atau tidak, artinya perubahan fisik dan mental yang dapat membentuk anak menjadi individu yang sempurna atau sebaliknya. Sempurna tidaknya tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh peranan orang tua dalam hal ini perhatian dan kasih sayang merupakan kondisi yang mendukung dan diperlukan anak. (Denis, 2002 : 8).
Asupan gizi adalah indikator utama dalam tumbuh kembang anak, ditinjau dari sudut tumbuh kembang anak masa bayi merupakan kurun waktu pertumbuhan paling pesat khususnya pertumbuhan dan perkembangan otak, oleh karena itu pemberian nutrisi yang adekuat yang diberikan ibu memegang peranan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kebutuhan gizi sangat terkait dengan tumbuh kembang anak, karena gizi dibutuhkan sejak di dalam kandungan. “Kebutuhan gizi sudah dimulai dari janin dan sudah ada pembuktian bahwa gizi yang baik akan menjadi modal besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut sampai masa dewasanya kelak” (Latief, 2006).
Anak Indonesia berusia 2 tahun berat badannya 2 kilogram lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak di negara lain, demikian pula dengan tinggi badannya lebih pendek 5 cm (UNICEF : 2000).
Sekitar 40% dari total anak Indonesia, kira-kira 10 juta anak dinyatakan kekurangan baik dalam fisik maupun mental, proses tumbuh kembang anak akan menjadi terhambat karena proses tumbuh kembang juga ditentukan oleh pemenuhan gizi yang optimal. (UNICEF : 2000).
Dari total kabupaten yang ada di Indonesia terdapat 75 % Kabupaten yang mempunyai masalah gizi kurang dengan indikator berat badan dan tinggi badan kurang dari 70%-80% pada anak balita. Indikator ini mencapai 20% (SUSENAS, 2000).
Jumlah penduduk di Kabupaten pada tahun 2006 sebanyak 1.176.136 jiwa, terdiri atas laki-laki brejumlah 582.474 jiwa dan perempuan sebanyak 596.662 jiwa atau meningkat sebesar 7.114 jiwa atau 0,84% (Profil Dinas Kesehatan Kabupaten).
Kecamatan terdiri dari 13 desa dengan jumlah penduduk di Desa sebanyak 3.733 jiwa dengan jumlah balita sebanyak 367 balita di RW.01 Desa sebanyak 115 balita. Di RW.02 Desa sebanyak 124 balita. Di RW.03 Desa sebanyak 35 balita. Di RW.04 Desa sebanyak 93 balita. Dengan perincian balita usia 0-5 bulan sebanyak 32 balita, usia 6-11 bulan sebanyak 42 balita, usia 12-59 bulan sebanyak 293 balita. Dengan jumlah posyandu di Desa sebanyak 4 posyandu.
Posyandu merupakan sarana yang tepat untuk ibu balita agar mengetahui tumbuh kembang balitanya tetapi di RW.02 Desa ibu balita tidak banyak yang mengetahui bahwa tumbuh kembang balita penting untuk diperhatikan. Ini terbukti pada saat pelaksanan posyandu ibu balita yang datang membawa balitanya untuk mengetahui tumbuh kembang balitanya hanya 30 orang atau sekitar 24,1 % dari yang ditargetkan 100%.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dikemukakan perumusan masalahnya adalah “Belum diketahuinya hubungan karakteristik ibu balita dengan tumbuh kembang balita di RW.02 Desa Kec Kab”.
Dari rumusan masalah tersebut maka pertanyaan penelitiannya adalah “Apakah ada hubungan karakteristik ibu balita dengan tumbuh kembang balita di RW.02 Desa Kec Kab Tahun”.

1.3 Ruang lingkup Penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada hubungan karakteristik ibu balita dengan tumbuh kembang balita di RW.02 Desa Kec Kab Tahun.

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan karakteristik ibu balita dengan tumbuh kembang balita di RW.02 Desa Kec Kab Tahun.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1 Diketahuinya distribusi frekuensi tumbuh kembang balita di RW.02 Desa Kec Kab Tahun.
1.4.2.2 Diketahuinya distribusi frekuensi pekerjaan responden dengan tumbuh kembang di RW.02 Desa Kec Kab Tahun.
1.4.2.3 Diketahuinya distribusi frekuensi pengetahuan responden dengan tumbuh kembang di RW.02 Desa Kec Kab Tahun.
1.4.2.4 Diketahuinya distribusi frekuensi perilaku responden dengan tumbuh kembang di RW.02 Desa  Kec Kab Tahun.
1.4.2.5 Diketahuinya distribusi frekuensi pendidikan responden dengan tumbuh kembang di RW.02 Desa  Kec Kab Tahun
1.4.2.6 Diketahuinya hubungan pekerjaan responden dengan tumbuh kembang di RW.02 Desa Kec Kab Tahun.
1.4.2.7 Diketahuinya hubungan pengetahuan responden dengan tumbuh kembang di RW.02 Desa Kec Kab Tahun.
1.4.2.8 Diketahuinya hubungan perilaku responden dengan tumbuh kembang di RW.02 Desa Kec Kab Tahun .
1.4.2.9 Diketahuinya hubungan pendidikan responden dengan tumbuh kembang di RW.02 Desa  Kec Kab Tahun.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Institusi
Sebagai tambahan kepustakaan dan sebagai bahan perbandingan mahasiswa lain yang akan melakukan penelitian tentang hubungan karakteristik ibu balita dengan tumbuh kembang balita.
1.5.2 Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan tentang hubungan karakteristik ibu balita dengan tumbuh kembang balita.
1.5.3 Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat memperoleh tambahan pengetahuan kesehatan tentang tumbuh kembang balita untuk meningkatkan status kesehatan.
silahkan download dalam bentuk dokumen word KTI SKRIPSI
HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU BALITA DENGAN TUMBUH KEMBANG BALITA 
KLIK DIBAWAH 



Pengetahuan Keluarga tentang Depresi pada Lansia di Desa

KTI KEBIDANAN
PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG DEPRESI PADA LANSIA DI DESA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Depresi merupakan suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang secara umum ditandai oleh rasa kesedihan, apatis, pesimisme, dan kesepian yang mengganggu aktivitas sosial dalam sehari-hari. Depresi biasanya terjadi pada saat stress yang dialami oleh seseorang tidak kunjung reda, sebagian besar diantara kita pernah merasa sedih atau jengkel, kehidupan yang penuh masalah, kekecewaan, kehilangan dan frustasi yang dengan mudah menimbulkan ketidakbahagiaan dan keputusasaan. Namun secara umum perasaan demikian itu cukup normal dan merupakan reaksi sehat yang berlangsung cukup singkat dan mudah dihalau (Gred Wilkinson, 1995).
Depresi dan Lanjut Usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan manusia. Masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Pada kenyataanya tidak semua lanjut usia mendapatkannya. Berbagai persoalan hidup yang menimpa lanjut usia sepanjang hayatnya seperti : kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak, atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi hidup seperti ini dapat memicu terjadinya depresi. Tidak adanya media bagi lanjut usia untuk mencurahkan segala perasaan dan kegundahannya merupakan kondisi yang akan mempertahankan depresinya, karena dia akan terus menekan segala bentuk perasaan negatifnya ke alam bawah sadar (Rice philip I, 1994).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat depresi adalah gangguan mental yang umum terjadi di antara populasi. Diperkirakan 121 juta manusia di muka bumi ini menderita depresi. Dari jumlah itu 5,8 persen laki-laki dan 9,5 persen perempuan, dan hanya sekitar 30 persen penderita depresi yang benar-benar mendapatkan pengobatan yang cukup, sekalipun telah tersedia teknologi pengobatan depresi yang efektif. Ironisnya, mereka yang menderita depresi berada dalam usia produktif, yakni cenderung terjadi pada usia kurang dari 45 tahun. Tidaklah mengherankan, bila diperkirakan 60 persen dari seluruh kejadian bunuh diri terkait dengan depresi (Ahmad Djojosugito, 2002).
Depresi dialami oleh 80 persen mereka yang berupaya atau melakukan bunuh diri pada penduduk yang didiagnosis mengalami gangguan jiwa. Bunuh diri adalah suatu pilihan untuk mengakhiri ketidakberdayaan, keputusasaan dan kemarahan diri akibat gangguan mood. Angka bunuh diri meningkat tiga kali lipat pada populasi remaja (usia 15 sampai 24) karena terdapat peningkatan insiden depresi pada populasi ini. Pria yang berusia lebih dari 64 tahun memiliki angka bunuh diri 38/100.000 dibandingkan dengan angka 17/100.000 untuk semua pria di Amerika Serikat (Roy, 2000).
Menurut sebuah penelitian di Amerika, hampir 10 juta orang Amerika menderita Depresi dari semua kelompok usia, kelas sosial ekonomi, ras dan budaya. Angka depresi meningkat secara drastis diantara lansia yang berada di institusi, dengan sekitar 50 persen sampai 75 persen penghuni perawatan jangka panjang memiliki gejala depresi ringan sampai sedang. Dari jumlah itu, angka yang signifikan dari orang dewasa yang tidak terganggu secara kognitif (10 sampai 20 persen) mengalami gejala-gejala yang cukup parah untuk memenuhi kriteria diagnostik depresi klinis. Oleh karena itu, depresi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disignifikan merupakan gangguan psikiatri yang paling banyak terjadi pada lansia, tetapi untungnya dapat diobati dan kembali sehat (Hermana, 2006).
Selain itu prevalensi depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15 persen dan hasil meta analisis dari laporan-laporan negara di dunia mendapatkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5 persen dengan perbandingan wanita-pria 14,1 : 8,6. Adapun prevalensi depresi pada lansia yang menjalani perawatan di RS dan panti perawatan sebesar 30-45 persen. Perempuan lebih banyak menderita depresi (Chaplin dan Prabova Royanti, 1998).
Depresi pada lansia seringkali lambat terdeteksi karena gambaran klinisnya tidak khas. Depresi pada lansia lebih banyak tampil dalam keluhan somatis, seperti: kelelahan kronis, gangguan tidur, penurunan berat badan dan sebagainya. Depresi pada lansia juga tampil dalam bentuk pikiran agitatif, ansietas, atau penurunan fungsi kognitif. Sejumlah faktor pencetus depresi pada lansia, antara lain faktor biologik, psikologik, stress kronis, penggunaan obat. Faktor biologik misalnya faktor genetik, perubahan struktural otak, faktor resiko vaskuler, kelemahan fisik, sedangkan faktor psikologik pencetus depresi pada lansia, yaitu tipe kepribadian, relasi, interpersonal (Frank J. Bruno, 1997).
Berdasarkan hasil survey pendahuluan yang dilakukan di Desa ........ ..... Terdapat 80 KK yang mempunyai lansia yang tinggal bersama mereka.
Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Gambaran Pengetahuan Keluarga tentang Depresi pada Lansia di Desa ........ ..... Kecamatan .........Tahun 2009”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : ”Bagaimanakah Pengetahuan Keluarga tentang Depresi pada Lansia di Desa ........ ..... Kecamatan .........Tahun 2009?”.

C. Tujuan Penelitian
C.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Keluarga tentang Depresi pada Lansia di Desa ........ ..... Kecamatan .........Tahun 2009.
C.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui distribusi pengetahuan keluarga tentang depresi pada lansia di Desa ........ ..... Kecamatan .........Tahun 2009 berdasarkan umur.
2. Untuk mengetahui distribusi pengetahuan keluarga tentang depresi pada lansia di Desa ........ ..... Kecamatan .........Tahun 2009 berdasarkan pendidikan.
3. Untuk mengetahui distribusi pengetahuan keluarga tentang depresi pada lansia di Desa ........ ..... Kecamatan .........Tahun 2009 berdasarkan pekerjaan.
4. Untuk mengetahui distribusi pengetahuan keluarga tentang depresi pada lansia di Desa ........ ..... Kecamatan .........tahun 2009 berdasarkan informasi.

D. Manfaat Penelitian
D.1. Bagi Peneliti
Sebagai penambah wawasan dan pengalaman bagi peneliti dalam mengaplikasikan mata kuliah riset keperawatan.
D.2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai penambah informasi untuk mahasiswa jurusan Keperawatan/Kebidanan dalam melakukan penelitian terutama yang berkaitan dengan Depresi pada Lansia.
D.3. Bagi Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan bagi keluarga untuk menambah pengetahuan keluarga tentang depresi pada lansia dan sebagai informasi bagi keluarganya tentang gambaran pengetahuan terhadap depresi pada lansia.
silahkan download KTI SKRIPSI
PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG DEPRESI PADA LANSIA DI DESA
KLIK DIBAWAH 

Pengetahuan Ibu Hamil tentang Antenatal Care di Puskesmas Ditinjau dari Segi Umur, Pendidikan

KTI SKRIPSI
PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG ANTENATAL CARE DI PUSKESMAS ............ DITINJAU DARI SEGI UMUR, PENDIDIKAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kebidanan dapat dikembangkan sehingga dapat menurunkan angka kematian ibu (AKI) 390/100.000 dan angka kematian perinatal (AKP) 56/100.000 persalinan hidup yang merupakan angka tertinggi di Asean.
Angka kematian perinatal (AKP) dengan cepat dapat diturunkan karena sebagian besar dirawat di rumah sakit, tetapi angka kematian ibu (AKI) memerlukan perjalanan panjang untuk dapat mencapai sasaran yang berarti.
Sebagai negara dengan keadaan geografis yang beraneka dan luas, angka kematian ibu bervariasi antara: 5.800/100.000 sedangkan angka kematian perinatal berkisar antara 25-750/100.000 persalinan hidup.
Untuk dapat mempercepat tercapainya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian perinatal disetiap rumah sakit baik pemerintah maupun rumah sakit swasta telah dicanangkan gagasan untuk meningkatkan pelayanan terhadap ibu dan bayinya melalui RS sayang bayi dan RS sayang ibu.
Kalau dikaji lebih mendalam bahwa proses kematian ibu mempunyai perjalanan yang panjang sehingga pencegahan dapat dilakukan sejak melakukan “Antenatal Care” (pemeriksaan kehamilan) melalui pendidikan berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, menyusui dan kembalinya kesehatan alat reproduksi, serta menyampaikan betapa pentingnya interval kehamilan berikutnya sehingga dapat tercapai sumber daya manusia yang diharapkan (Mannabe IBG, 2001:88 – 93).
Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk memeriksakan kehamilan ibu dan janin secara berkala, yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan. Tujuannya adalah untuk menjaga agar ibu hamil dapat melalui masa kehamilannya, persalinan dan nifas dengan baik dan selamat, serta menghasilkan bayi yang sehat. Pemeriksaan antenatal dilakukan oleh dokter umum, bidan, perawat bidan dan dukun terlatih (Mochtar, 1998:47).
Secara nasional cakupan K1 (kunjungan pertama kali) ke fasilitas kesehatan adalah 84,54% sedang cakupan K4 adalah 64,06% ini berarti masih terdapat 15,46% ibu hamil yang tidak melakukan kunjungan ulang ke fasilitas kesehatan (DEPKES RI, 1997).
Khusus untuk di puskesmas Tipo Palu, cakupan K1 untuk tahun 2004 jumlah kunjungan 200 orang (52%) sedang untuk cakupan K4 adalah 182 orang (48%) jumlah kunjungan. Dan untuk tahun 2005 dari bulan Januari sampai dengan bulan September jumlah kunjungan ibu hamil 268 orang. Cakupan K1 adalah 152 orang dan cakupan K4 adalah 116 orang (43%) (Profil Puskesmas Tipo Palu dan Laporan KIA 2004 – 2005).
Pengetahuan ibu hamil tentang Antenatal Care (pemeriksaan kehamilan) sangat penting karena akan dapat membantu mengurangi angka kematian ibu dan bayi.
Dari uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran yang berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu hamil tentang Antenatal Care (pemeriksaan kehamilan) pada bulan Januari 2006 sehingga nantinya petugas kesehatan bisa menetapkan suatu strategi pelayanan yang memadai guna meningkatkan kunjungan secara menyeluruh bagi ibu hamil di Puskesmas.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Bagaimana pengetahuan ibu hamil tentang Antenatal Care di Puskesmas ditinjau dari segi umur, pendidikan, pekerjaan dan paritas”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan ibu hamil dan karakteristiknya tentang Antenatal Care.
2. Tujuan khusus
a. Diperolehnya informasi tentang gambaran tingkat pengetahuan ibu hamil tentang Antenatal Care.
b. Untuk memperoleh informasi tentang pengetahuan ibu hamil tentang Antenatal Care ditinjau dari segi umur.
c. Untuk memperoleh informasi tentang pengetahuan ibu hamil tentang Antenatal Care ditinjau dari segi pendidikan
d. Untuk memperoleh informasi pengetahuan ibu hamil tentang Antenatal Care ditinjau dari segi pekerjaan
e. Untuk memperoleh informasi pengetahuan ibu hamil tentang Antenatal Care ditinjau dari segi paritas.

D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu bahan masukan bagi pengelola KIA untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil yang datang ke Puskesmas tentang Antenatal Care.
2. Sebagai sumbangan ilmiah dan informasi tambahan bagi peneliti selanjutnya.
3. Bagi peneliti merupakan pengalaman berharga dalam rangka menambah wawasan pengetahuan serta pengembangan diri, khususnya dalam bidang penelitian lapangan.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas pada bulan Januari.

silahkan download KTI SKRIPSI
PENGETAHUAN IBU HAMIL TENTANG ANTENATAL CARE DI PUSKESMAS DITINJAU DARI SEGI UMUR, PENDIDIKAN
KLIK DIBAWAH 

Karakteristik Pelaksanaan Senam Lansia pada Posyandu

KTI SKRIPSI
KARAKTERISTIK PELAKSANAAN SENAM LANSIA PADA POSYANDU ..... DESA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu isu kependudukan yang mulai menghangat pada dekade terakhir ini adalah peningkatan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di beberapa negara di dunia dan khususnya di Indonesia. Turunnya tingkat fertilitas dan tingkat kematian akan menghasilkan perubahan fundamental terhadap struktur umur sebagian besar masyarakat dan dapat menambah proporsi dan jumlah penduduk usia tua, termasuk meningkatnya jumlah penduduk usia sangat tua (old-old). Pada tahun 1950, di Asia terdapat 55 juta laki-laki dan perempuan yang berusia 65 tahun ke atas. Sedangkan pada tahun 2000, jumlahnya meningkat menjadi 207 juta, dan menurut proyeksi jumlah tersebut akan meningkat lagi pada tahun 2050 menjadi 865 juta orang atau sekitar 20 persen dari penduduk dewasa (Cicih cit BKKBN, 2000).
Indonesia sebagai salah satu negara di Asia mengalami peningkatan penduduk lansia (60 tahun ke atas) yang cukup pesat. Dalam kurun waktu sekitar 50 tahun peningkatannya sudah mencapai tiga kali lipat. Menurut data BPS (1998), jumlah lansia (60 tahun ke atas) di Indonesia pada tahun 1971 sekitar 4,9 persen dari jumlah penduduk, sedangkan pada tahun 1990 sekitar 6,7 persen, kemudian meningkat menjadi 7,6 persen pada tahun 2000. pada tahun 2020 diperkirakan lansia mencapai 11,4 persen dari total penduduk atau sekitar 32 juta jiwa.
Lansia merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Kemampuan untuk beraktifitas, baik sosial maupun ekonomi akan mengalami penurunan. Dengan demikian, definisi penduduk lanisia ditentukan oleh 3 (tiga) aspek, yaitu aspek biologi, ekonomi, dan sosial. Secara biologi penduduk lansia adalah penduduk yang telah mengalami proses penuaan dan menurunnya daya tahan fisik sehingga rentan terhadap penyakit. Secara ekonomi, penduduk lansia dipandang sebagai beban terhadap perekonomian. Sedangkan secara sosial, penduduk lansia sebagai satu kelompok sosial tersendiri (BKKBN, 2000).
Pada usia lanjut telah terjadi kemunduran fisik pada organ tubuh. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar tetap sehat di usia lanjut yaitu dengan memperhatikan faktor gizi dan olahraga. Dengan semakin meningkatnya usia maka sudah jelas kesegaran jasmani akan turun. Penurunan kemampuan akan semakin terlihat setelah umur 40 tahun, sehingga saat usia lanjut kemampuan akan turun antara 30-50%. Oleh karena itu, bila para usia lanjut ingin beolahraga harus memilih sesuai dengan umur kelompoknya, dan kemungkinan adanya penyakit. Olahraga usia lanjut perlu diberikan dengan berbagai patokan, antara lain beban ringan atau sedang, waktu relatif lama, bersifat aerobik dan atau kalistenik, tidak kompetitif/bertanding (www.bkkbn.co.id., 2006).
Dari beberapa uraian di atas maka telah dijelaskan bahwa program pembinaan kesehatan lanjut usia sangat dibutuhkan. Posyandu atau pos pelayanan terpadu yang merupakan program Puskesmas melalui kegiatan peran serta masyarakat telah berupaya untuk melaksanakan program pembinaan kesehatan lanjut usia. Adapun data Posyandu Lansia di Kabupaten Lampung tengah tahun 2005 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.1. Data Posyandu Lansia
No Nama Wilayah Jumlah posyandu Jumlah lansia
1. Kabupaten 187 75.966
2. Kecamatan 14 4.783
3. Desa 8 2.764
Sumber : Data Dinkes Kabupaten
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah Posyandu di berjumlah 187 dengan jumlah lansia 75.966 orang. Untuk Kecamatan Kalirejo sendiri berjumlah 14 posyandu dengan jumlah lansia sebanyak 4.783 orang. Sedangkan di desa jumlah Posyandu ada 8 unit dan jumlah lansia ada 2.764 orang.
Dari 8 posyandu yang ada di desa, hanya 1 posyandu yang telah melaksanakan program senam lansia. Kegiatan senam lansia tersebut telah dilaksanakan sejak tahun 1997 hingga sekarang. Adapun jumlah lansia dari tahun 2001 sampai dengan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.2. Data Jumlah Lansia Dari Tahun 2001 –
No Tahun Jumlah Lansia %
1 2001 514 Orang 5,28
2 2002 510 Orang 5,24
3 2003 3761 Orang 38,63
4 2004 2764 Orang 28,39
5 2005 2186 Orang 22,46
Sumber: Data Puskesmas tahun 2001-
Dilihat dari tabel 1.2 jumlah senam lansia mengalami penurunan dan peningkatan dari tahun ke tahun (2001-2005).
Gambar 1.1. Grafik Peningkatan (%) Dari Tahun Ke Tahun
Pada tabel dan diagram di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2001 jumlah lansia di desa  adalah 5,28% sedangkan pada tahun 2003 mengalami peningkatan yaitu 38,63% dari tahun sebelumnya yaitu 5,24%. Pada tahun 2004 mengalami penurunan (28,39%), kemudian di tahun 2005 juga mengalami penurunan (22,46%).
Pada studi pendahuluan yang dilakukan di Posyandu Lestari dari bulan Januari sampai Mei tahun, diketahui bahwa pelaksanaan senam lansia dilakukan 1 minggu sekali dengan anggota 35 orang lansia. Berdasarkan fenomena pelaksanaan senam lansia di desa Kalirejo yang masih belum terlaksana dengan baik maka penulis tertarik untuk mengetahui “Karakteristik Pelaksanaan Senam Lansia pada Posyandu”.

1.2 Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang, maka diidentifikasi masalah yang ada di Posyandu Lestari, yaitu :
1.2.1 Secara alami kelompok usia lanjut mengalami kemunduran fisik, biologik, mental, maupun sosialnya.
1.2.2 Olahraga adalah suatu bentuk kegiatan fisik yang memberikan pengaruh baik terhadap tingkat kemampuan fisik manusia bila dilaksanakan dengan tepat dan terarah.
1.2.3 Bentuk olahraga untuk usia lanjut dapat bermacam-macam dengan syarat tidak membahayakan atau memperburuk keadaan, yang salah satunya adalah senam lansia.
1.2.4 Pada studi pendahuluan yang dilakukan di Posyandu Lestari dari bulan Januari sampai Mei, diketahui bahwa dari 8 posyandu yang ada baru 1 posyandu yang menjalankan program senam lansia. Program senam lansia tersebut dilakukan 1 minggu sekali dengan anggota 35 orang lansia hal tersebut belum menunjukkan karakteristik senam lansia.

1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka penulis membuat rumusan masalah,”Bagaimana karakteristik pelaksanaan senam lansia pada Posyandu?”

1.4 Pertanyaan Peneliti
1.4.1 Bagaimana pelaksanaan senam lansia ditinjau dari jenis kelamin?
1.4.2 Bagaimana pelaksanaan senam lansia ditinjau dari jenis pendidikan?
1.4.3 Bagaimana pelaksanaan senam lansia ditinjau dari jenis pekerjaan?
1.4.4 Bagaimana pelaksanaan senam lansia ditinjau dari tingkat pengetahuan?

1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui karakteristik pelaksanaan senam lansia pada Posyandu.
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengidentifikasi pelaksanaan senam lansia ditinjau dari jenis kelamin pada Posyandu
2. Untuk mengidentifikasi pelaksanaan senam lansia ditinjau dari jenis pendidikan pada Posyandu
3. Untuk mengidentifikasi pelaksanaan senam lansia ditinjau dari jenis pekerjaan pada Posyandu
4. Untuk mengidentifikasi pelaksanaan senam lansia ditinjau dari tingkat pengetahuan pada Posyandu

1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat :
1.6.1 Untuk lansia
Untuk menambah pengetahuan bagi lansia tentang pentingnya pelaksanaan senam lansia.
1.6.2 Bagi Petugas Posyandu
Untuk Meningkatkan program yang sudah berjalan pada Posyandu
1.6.3 Bagi Institusi Pendidikan Program Studi Kebidanan
Sebagai sumber pustaka peneliti selanjutnya di institusi pendidikan.
1.6.4 Bagi Peneliti lain
Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain yang meneliti tentang lansia.
1.7 Ruang Lingkup
Di dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup yang diteliti sebagai berikut :
1. Sifat Penelitian : Deskriptif
2. Subjek Penelitian : Para lansia di Posyandu
3. Objek Penelitian : Pelaksana Senam lansia pada Posyandu
4. Tempat Penelitain : Posyandu.
5. Waktu Penelitian : Pada bulan April s.d Juni
6. Alasan : Karena dari 8 Posyandu yang ada di desa satu Posyandu yang menjalani program senam lansia dan hal tersebut belum menunjukkan karakteristik senam lansia.


silahkan download KTI SKRIPSI
KARAKTERISTIK PELAKSANAAN SENAM LANSIA PADA POSYANDU DESA
KLIK DIBAWAH



Hubungan Usia Terhadap Perdarahan Post Partum Di RSUD

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN USIA TERHADAP PERDARAHAN POSTPARTUM DI RSUD

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan wanita merupakan hal yang sangat penting bagi bangsa. Kenyataan menunjukan bahwa umur harapan hidup bangsa Indonesia semakin meningkat sejalan dengan peningkatannya kualitas kesehatan yang berarti termasuk pula wanita. Khususnya untuk kesehatan reproduksi kesehatan wanita memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan generasi yang berkualitas dalam segi fisiknya. Maka tak berlebihan bahwa kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus (Univeristas Diponegoro 1992; 8).
Angka kematian Ibu dan perinatal merupakan ukuran penting dalam menilai keberhasilan pelayanan kesehatan sesuai dengan masalah kesehatan ibu dan anak di Indonesia (Manuaba, 1998; 8).
Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi. Sebenarnya kematian tersebut masih dapat dihindari karena sebagian besar terjadi pada saat pertolngan pertama sangat diperlukan, tetapi penyelenggara kesehatan tidak sanggup untuk memberikan pelayanan. Penyebab kematian ibu masih tetap merupakan “ trias klasik “ yang terdiri dari perdarahan, sepsis dan eklamsia (Manuaba, 1998; 15).
Diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya dan paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan. Di Inggris (2000), separuh kematian ibu hamil akibat disebabkan oleh perdarahan postpartum.
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) AKI di Indonesia mengalami penurunan yang cukup tinggi, dari 390 pada tahun 2000, angka ini masih termasuk yang tinggi diantara negara-negara ASEAN. Tingginya AKI ini menunjukkan bahwa derajat kesehatan di Indonesia masih belum baik. Pada tahun 2002/2003, AKI di Indonesia adalah sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Tingginya AKI dipengaruhi oleh penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung berkaitan dengan kondisi saat melahirkan seperti perdarahan, hipertensi atau tekanan darah tinggi saat kehamilan (eklamsia), Infeksi, partus lama, dan komplikasi keguguran. Penyebab langsung tersebut diperburuk oleh status kesehatan dan gizi ibu yang kurang baik. Sementara itu penyebab tidak langsung antara lain adalah rendahnya taraf pendidikan perempuan, kurangnya pengetahuan kesehatan reproduksi, rendahnya status sosial ekonomi, serta kurangnya ketersediaan pelayanan kesehatan dan keluaga berencana (KB).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2004-2009 menerapkan sasaran pencapaian AKI sebesar 226 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009. Sementara itu Millenium Development Goals (MDGs), menetapkan AKI pada tahun 2015 menjadi 2/3 dari keadaan tahun 2000, yaitu menjadi 102 per kelahiran hidup.
Perdarahan Postpartum adalah perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam masa 2 jam setelah anak lahir (Sinopsis Obstetri Jilid 1, Edisi 2, 1998;298). Biasanya perdarahan itu tidak banyak, sebab kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pembuluh darah yang terbuka sehingga lumennya tertutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah. Seorang wanita sehat dapat kehilangan 500 ml darah tanpa akibat buruk. Istilah perdarahan postpartum digunakan apabila perdarahan setelah anak lahir melebihi 500 ml (Ilmu Kebidanan Edisi 3, 2005; 653).
Apabila terjadi perdarahan yang berlebihan setelah melahirkan harus dicari penyebab yang spesifik. Atonia uteri, retensio plansenta, sisa plasenta, dan laserasi traktus ginetalia merupakan penyebab sebagian besar perdarahan postpartum (Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 29 September 2008).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Medical Record RSUD. Prof. DR. H. di ruang bersalin. Bulan Januari sampai Desember ibu dengan kasus perdarahan posttuparm berjumlah 63 kasus dan 1 orang diantaranya meninggal dunia.
Atas dasar permasalahan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Hubungan Usia Terhadap Perdarahan Postpartum di RSUD.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan usia terhadap perdarahan Postpartum di RSUD. ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan usia terhadap perdarahan Postpartum di RSUD. .
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Bidan
a. Sebagai bahan masukan untuk pertimbangan dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam hal memberikan perawatan.
b. Sebagai bahan untuk meningkatkan manajemen asuhan kebidanan pada ibu dengan perdarahan.
2. Bagi Rumah Sakit
Sebagai dorongan untuk lebih memperhatikan kualitas tenaga kebidanan dalam menciptakan SDM yang berkualitas sehingga dapat diandalkan.
3. Bagi Peneliti
Sebagai referensi dan bahan perbadingan bagi peneliti selanjutnya
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN USIA TERHADAP PERDARAHAN POSTPARTUM DI RSUD
KLIK DIBAWAH 



Hubungan Karakteristik Ibu Menyusui Terhadap Pemberian Makanan Pendamping ASI pada Bayi Usia 0 – 12

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU MENYUSUI TERHADAP
PEMBERIAN ASI DI UPT PUSKESMAS

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“Kabupaten Agribisnis termaju di Jawa Barat Tahun 2010 berbasis masyarakat agamis dan partisipatif” itulah visi Kabupaten untuk menunjang visi Kabupaten tersebut dibutuhkan masyarakat yang sehat dan memiliki kemampuan serta akses terhadap semua program pembangunan termasuk pembangunan kesehatan yang diformulasikan dalam visi “Sehat”.
Pembangunan sumber daya manusia perlu mendapat perhatian yang lebih baik agar mampu membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Salah satu bagian penting dari pembangunan Sumber Daya Manusia adalah bidang kesehatan. Kesehatan merupakan faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan salah satu sumber daya manusia yang berkualitas tersebut adalah ASI eksklusif. Banyak penelitian sudah membuktikan, ASI membuat bayi jauh lebih sehat, kekebalan tubuh yang tinggi, kecerdasan emosional dan spiritual yang baik.
Periode awal merupakan saat-saat terpenting dalam perkembangan anak dan menjadi pondasi bagi periode berikutnya. Kabupaten baru ada 18% ibu yang memberikan ASI eksklusif dari target 65% yang ditetapkan. Sedangkan di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kabupaten baru 2,27% ibu yang memberikan ASI ekslusif dari target 65% yang ditetapkan.
Dengan demikian hampir 62,73% bayi telah mendapatkan makanan pendamping ASI di bawah usia 6 bulan. Hal ini merupakan masalah karena pemberian makanan pendamping ASI dibawah usia 6 bulan akan menyebabkan buruknya pertumbuhan anak, dapat menimbulkan diare, juga dapat menimbulkan kelebihan atau kekurangan gizi (Sunita, 2003 : 103).
Pakar kesehatan anak memperkirakan bahwa sebagian besar kematian bayi dan anak di seluruh dunia adalah akibat tidak baiknya mutu makanan mereka. Sehingga pertumbuhan anak-anak terhambat dan daya tahan tubuh mereka terhadap serangan penyakit infeksi menjadi sangat lemah (Sjahmin, 2000 : 97).
Oleh karena itu diperlukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan ibu menyusui tentang pemberian makanan pendamping ASI baik melalui penyuluhan maupun media lain yang bisa dimanfaatkan untuk merubah sikap dan perilaku yang lebih positif dalam hal pemberian makanan pendamping ASI.
Dengan memperhatikan betapa pentingnya pemberian makanan pendamping ASI, maka penulis tertarik untuk mengetahui karakteristik ibu menyusui terhadap pemberian makanan pendamping ASI di Puskesmas Kecamatan Kabupaten

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka penulis ingin mengetahui sejauh mana Hubungan Karakteristik Ibu Menyusui terhadap Pemberian Makanan Pendamping ASI pada bayi usia 0 – 12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada karakteristik ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0 – 12 bulan yang mencakup umur, pendidikan, paritas, pekerjaan dan pengetahuan ibu di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten.

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara karakteristik ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0 – 12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1 Diketahuinya distribusi frekuensi ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0 – 12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten Tahun.
1.4.2.2 Diketahuinya distribusi frekuensi umur ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0 – 12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten.
1.4.2.3 Diketahuinya distribusi frekuensi pendidikan ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0-12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan  Kabupaten.
1.4.2.4 Diketahuinya distribusi frekuensi paritas ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten.
1.4.2.5 Diketahuinya distribusi frekuensi pekerjaan ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten.
1.4.2.6 Diketahuinya distribusi frekuensi pengetahuan ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten.
1.4.2.7 Diketahuinya hubungan antara umur ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten.
1.4.2.8 Diketahuinya hubungan antara pendidikan ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten.
1.4.2.9 Diketahuinya hubungan antara paritas ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten.
1.4.2.10 Diketahuinya hubungan antara pekerjaan ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0–12 bulan di UPTD Puskesmas Kecamatan Kabupaten.
1.4.2.11 Diketahuinya hubungan antara pengetahuan ibu menyusui dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 0-12 bulan di UPTD di Puskesmas Kecamatan Kabupaten.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menjadikan media pembelajaran untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan tentang kebidanan yang didapat di bangku kuliah serta bisa menambah wawasan dan kepekaan penelitaian terhadap kondisi-kondisi nyata di masyarakat berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan yang sedang ditekuni, khususnya dalam hal pemberian makanan pendamping ASI.
1.5.2 Bagi Lembaga Pendidikan
Penelitian ini dijadikan bahan referensi untuk pengembangan lembaga baik secara keilmuan (Akademis) dimana hasil penelitan ini bisa dijadikan bahan penelitian lebih lanjut dalam hal pemberian makanan pendamping ASI.
1.5.3 Bagi Instansi Terkait
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi yang bisa dijadikan referensi bagi instansi terkait (Dinas Kesehatan Kabupaten Puskesmas, BPS) dalam pengembangan program-program kesehatan masyarakat, khususnya dalam hal pemberian makanan pendamping ASI.
 
silahkan download KTI SKRIPSI
HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU MENYUSUI TERHADAP PEMBERIAN ASI DI UPT PUSKESMAS
KLIK DIBAWAH