KTI SKRIPSI
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Kader Kesehatan dalam Penanggulangan Diare
Menyadari akan arti pentingnya peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan, maka Departemen Kesehatan menetapkan visi : “Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat”. Yaitu suatu kondisi di mana masyarakat Indonesia menyadari, mau, dan mampu mengenali, mencegah, dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan akibat bencana, maupun lingkungan yang tidak mendukung untuk hidup sehat.
Dalam mewujudkan visi tersebut, maka misi Departemen Kesehatan adalah : “Membuat Rakyat Sehat”. Dalam hal ini, Departemen Kesehatan harus mampu sebagai penggerak dan fasilitator pembangunan kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat termasuk swasta, untuk membuat rakyat sehat, baik fisik, sosial, maupun mental/ jiwanya (Depkes, 2006).
Menurut Mustari Gani (2007), berbagai masalah kesehatan yang timbul dewasa ini, sebenarnya tidak perlu terjadi apabila masyarakat berperan secara aktif sesuai dengan perannya masing-masing, mulai dari kesadaran memelihara kesehatan pribadi, keluarga, lingkungan, perencanaan program kesehatan hingga pengawasan atas kebijakan atau pelaksanaan program-program kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah ataupun pihak lain yang ditunjuk oleh pemerintah.
Tak dapat disangkal, bahwa pemerintah telah berupaya maksimal untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia sebagai asset dalam pembangunan nasional, mulai dari penyusunan program sampai pada penyediaan anggaran. Namun, lagi-lagi sebaik apapun program dan sebesar apapun anggaran bila tidak diikuti dengan sikap proaktif dan kesadaran masyarakat maka program tersebut hanya akan menjadi sebuah fatamorgana.
Secara bertahap para anggota WHO menyadari bahwa pengadaan rumah sakit mewah dan peralatannya yang serba canggih serta penyelenggaraan pendidikan kedokteran dan kesehatan yang mahal bukanlah cara yang paling baik untuk mempertinggi derajat kesehatan masyarakat. Kini telah banyak negara yang melakukan upaya secara besar-besaran guna mencapai pembangunan kesehatan yang rasional dan seimbang. Akibatnya negara-negara tersebut memberikan perhatian kepada bidang kesehatan masyarakat sama seperti perhatian yang diberikannya kepada individu.
Tahun 1960 gagasan tentang pemberian pelayanan kesehatan dasar ini muncul. Dan pada mulanya hal itu cukup menjanjikan keberhasilan, namun karena beberapa proyek percontohan itu tidak disesuaikan dengan kondisi setempat, juga tidak mengikutkan peran serta masyarakat, tidak melibatkan dukungan masyarakat dan sumber daya lokal, akhirnya proyek-proyek yang terdahulu itu berakhir dengan kegagalan dan kekecewaan.
Dunia Internasional mengetahui bahwa kesehatan masyarakat China telah meningkat pesat sebagai akibat dari pendekatan yang kini disebut sebagai “Pelayanan Kesehatan Utama”. Salah satu unsur dari pendekatan tersebut adalah pemakaian kader kesehatan masyarakat guna memberikan pelayanan kesehatan di tempat-tempat dimana penduduk bertempat tinggal dan bekerja, membantu masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhannya di bidang kesehatan, membantu masyarakat dalam memecahkan permasalahan mereka sendiri di bidang kesehatan (WHO, 1995).
Perilaku kesehatan tidak terlepas dari pada kebudayaan masyarakat. Dalam upaya untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat harus pula diperhatikan keadaan sosial budaya masyarakat. Sehingga untuk mengikut sertakan masyarakat dalam upaya pembangunan, khususnya dalam bidang kesehatan, tidak akan membawa hasil yang baik bila prosesnya melalui pendekatan yang edukatif yaitu, berusaha menimbulkan kesadaran untuk dapat memecahkan permasalahan dengan memperhitungkan sosial budaya setempat.
Dengan terbentuknya kader kesehatan, pelayanan kesehatan yang selama ini dikerjakan oleh petugas kesehatan saja dapat dibantu oleh masyarakat. Dengan demikian masyarakat bukan hanya merupakan objek pembangunan, tetapi juga merupakan mitra pembangunan itu sendiri. Selanjutnya dengan adanya kader, maka pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima dengan sempurna berkat adanya kader, jelaslah bahwa pembangunan kader adalah perwujudan pembangunan dalam bidang kesehatan (httplibrary.usu.ac.iddownloadfkmfkm-zulkifli 1.pdf).
Angka kejadian diare disebagian besar wilayah Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Kasubdit Diare dan Kecacingan Depkes, I Wayan Widaya mengatakan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 angka kematian akibat diare 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita 75 per 100 ribu balita. Selama tahun 2006 sebanyak 41 kabupaten di 16 provinsi melaporkan KLB diare di wilayahnya. Jumlah kasus diare yang dilaporkan sebanyak 10.980 dan 277 diantaranya menyebabkan kematian. Hal tersebut, utamanya disebabkan rendahnya ketersediaan air bersih, sanitasi buruk dan perilaku hidup tidak sehat. Laporan 119 Dinkes Kab/ Kota tahun 2004 air bersih yang memenuhi syarat kesehatan 57,00 persen dan persentase keluarga yang menggunakan jamban yang memenuhi syarat kesehatan 67,12 persen. Menurut Wayan, pihaknya memfokuskan strategi penanganan penatalaksanaan diare pada tingkat runah tangga, sarana kesehatan dan KLB diare (httpwww.depkes.go.idindex.phpoption =news&task=viewarticle&sid=2475&Itimed=2).
Penyakit diare di Kalimantan Selatan masuk dalam golongan penyakit terbesar yang angka kejadiannya relative cukup tinggi. Keadaan ini didukung oleh faktor lingkungan, yaitu penggunaan air untuk keperluan sehari-hari yang tidak memenuhi syarat, sarana jamban keluarga yang kurang memenuhi syarat, serta kondisi sanitasi perumahan yang tidak higienis.
Penyakit diare juga merupakan salah satu penyebab utama kematian pada anak balita. Angka kejadian penyakit diare sejak tahun 1997 cenderung mengalami penurunan, dari 17 per 1.000 penduduk menurun menjadi 6.9 per 1.000 penduduk tahun 2005 pada tahun 2006 meningkat menjadi 19.5 per 1.000 penduduk (Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2006).
Penyakit diare merupakan penyakit terbanyak di Kabupaten jumlah kasus 9089, Kecamatan di Puskesmas merupakan kecamatan dan Puskesmas tertinggi jumlah kasus diare mencapai 1036 kasus. Angka kejadian diare selama tahun 2007 di wilayah kerja Puskesmas sebanyak 90 kasus dengan incidence rate 16,4% dan kasus diare tertinggi ditemukan di Desa Benua Hanyar sebanyak 16 kasus diare berdasarkan laporan tahunan Puskesmas tahun 2007.
Untuk mendukung ke empat upaya atau strategi utama Depkes yaitu : Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, meningkatkan pembiayaan kesehatan. Tidaklah cukup dengan hanya bergantung pada tenaga kesehatan. Usaha peningkatan kesehatan masyarakat juga memerlukan bantuan kader kesehatan yang kompeten yang ada di masyarakat. Memahami pentingnya kesehatan, dibutuhkan kerjasama lintas sektor agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, berkualitas tinggi, dan siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih maju (Depkes, 2006).
Berdasarkan laporan tahunan Puskesmas tahun 2007 terdapat 18 Posyandu dengan tingkat perkembangan Posyandu, yaitu Posyandu Pratama sebanyak 3 buah (16,7%), Posyandu Madya 4 buah (22,2%), Purnama 10 (55,5%), dan Mandiri sebanyak 1 buah (5,5%). Jumlah kader sebanyak 78 orang dan keseluruhannya berjenis kelamin wanita. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan kader dalam melaksanakan kegiatan Posyandu masih sangat rendah karena kemandirian kader kesehatan dalam program penanggulangan diare masih kurang. Frekuensi penyuluhan masih kurang bahkan hingga saat ini di wilayah kerja Puskesmas belum optimal kerja kader yang mampu memberikan penyuluhan dalam penanggulangan diare.
B. Rumusan Masalah
Rendahnya peranan kader kesehatan dalam penanggulangan diare dapat dilihat dari masih tingginya angka incidence rate kasus diare di wilayah kerja Puskesmas yaitu sebesar 16,4% pada tahun 2007. Melihat pentingnya peran kader kesehatan dalam menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, maka peneliti membuat rumusan sebagai berikut :
a. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi peran kader kesehatan dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun ?
b. Bagaimanakah peran kader kesehatan dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun ?
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kader Posyandu dalam perannya untuk menanggulangi penyakit diare di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun .
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mendiskripsikan tingkat pengetahuan kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
2. Untuk mendiskripsikan sikap kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
3. Untuk mendiskripsikan tingkat motivasi kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
4. Untuk mendiskripsikan tingkat motivasi kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
5. Untuk mendiskripsikan peran kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
6. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan peran kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
7. Untuk mengetahui hubungan sikap dengan peran kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
8. Untuk mengetahui hubungan motivasi dengan peran kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Meningkatkan wawasan keilmuan dan menerapkan teori-teori yang diperoleh waktu kuliah terhadap masalah-masalah kesehatan masyarakat
2. Bagi Instansi Terkait
Sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan dalam merencanakan dan melaksanakan program kesehatan.
3. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peran kader kesehatan dalam menanggulangi penyakit diare.
E. Ruang Lingkup
1. Ruang Lingkup Keilmuan
Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup ilmu kesehatan masyarakat dan merupakan bagian dari ilmu Pendidikan dan Perilaku Kesehatan/ Pemberdayaan Kesehatan.
2. Ruang Lingkup Tempat
Penelitian dilakukan di Puskesmas Kecamatan Kabupaten .
3. Ruang Lingkup Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan dalam waktu 4 bulan dimulai pada minggu kedua bulan Juni sampai dengan minggu kedua bulan Oktober tahun .
4. Ruang Lingkup Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada tingkat pengetahuan, sikap, dan motivasi dengan peran kader kesehatan dalam menanggulangi penyakit diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
silahkan download KTI SKRIPSI
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Kader Kesehatan dalam Penanggulangan Diare
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Kader Kesehatan dalam Penanggulangan Diare
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangMenyadari akan arti pentingnya peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan, maka Departemen Kesehatan menetapkan visi : “Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat”. Yaitu suatu kondisi di mana masyarakat Indonesia menyadari, mau, dan mampu mengenali, mencegah, dan mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan akibat bencana, maupun lingkungan yang tidak mendukung untuk hidup sehat.
Dalam mewujudkan visi tersebut, maka misi Departemen Kesehatan adalah : “Membuat Rakyat Sehat”. Dalam hal ini, Departemen Kesehatan harus mampu sebagai penggerak dan fasilitator pembangunan kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat termasuk swasta, untuk membuat rakyat sehat, baik fisik, sosial, maupun mental/ jiwanya (Depkes, 2006).
Menurut Mustari Gani (2007), berbagai masalah kesehatan yang timbul dewasa ini, sebenarnya tidak perlu terjadi apabila masyarakat berperan secara aktif sesuai dengan perannya masing-masing, mulai dari kesadaran memelihara kesehatan pribadi, keluarga, lingkungan, perencanaan program kesehatan hingga pengawasan atas kebijakan atau pelaksanaan program-program kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah ataupun pihak lain yang ditunjuk oleh pemerintah.
Tak dapat disangkal, bahwa pemerintah telah berupaya maksimal untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia sebagai asset dalam pembangunan nasional, mulai dari penyusunan program sampai pada penyediaan anggaran. Namun, lagi-lagi sebaik apapun program dan sebesar apapun anggaran bila tidak diikuti dengan sikap proaktif dan kesadaran masyarakat maka program tersebut hanya akan menjadi sebuah fatamorgana.
Secara bertahap para anggota WHO menyadari bahwa pengadaan rumah sakit mewah dan peralatannya yang serba canggih serta penyelenggaraan pendidikan kedokteran dan kesehatan yang mahal bukanlah cara yang paling baik untuk mempertinggi derajat kesehatan masyarakat. Kini telah banyak negara yang melakukan upaya secara besar-besaran guna mencapai pembangunan kesehatan yang rasional dan seimbang. Akibatnya negara-negara tersebut memberikan perhatian kepada bidang kesehatan masyarakat sama seperti perhatian yang diberikannya kepada individu.
Tahun 1960 gagasan tentang pemberian pelayanan kesehatan dasar ini muncul. Dan pada mulanya hal itu cukup menjanjikan keberhasilan, namun karena beberapa proyek percontohan itu tidak disesuaikan dengan kondisi setempat, juga tidak mengikutkan peran serta masyarakat, tidak melibatkan dukungan masyarakat dan sumber daya lokal, akhirnya proyek-proyek yang terdahulu itu berakhir dengan kegagalan dan kekecewaan.
Dunia Internasional mengetahui bahwa kesehatan masyarakat China telah meningkat pesat sebagai akibat dari pendekatan yang kini disebut sebagai “Pelayanan Kesehatan Utama”. Salah satu unsur dari pendekatan tersebut adalah pemakaian kader kesehatan masyarakat guna memberikan pelayanan kesehatan di tempat-tempat dimana penduduk bertempat tinggal dan bekerja, membantu masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhannya di bidang kesehatan, membantu masyarakat dalam memecahkan permasalahan mereka sendiri di bidang kesehatan (WHO, 1995).
Perilaku kesehatan tidak terlepas dari pada kebudayaan masyarakat. Dalam upaya untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat harus pula diperhatikan keadaan sosial budaya masyarakat. Sehingga untuk mengikut sertakan masyarakat dalam upaya pembangunan, khususnya dalam bidang kesehatan, tidak akan membawa hasil yang baik bila prosesnya melalui pendekatan yang edukatif yaitu, berusaha menimbulkan kesadaran untuk dapat memecahkan permasalahan dengan memperhitungkan sosial budaya setempat.
Dengan terbentuknya kader kesehatan, pelayanan kesehatan yang selama ini dikerjakan oleh petugas kesehatan saja dapat dibantu oleh masyarakat. Dengan demikian masyarakat bukan hanya merupakan objek pembangunan, tetapi juga merupakan mitra pembangunan itu sendiri. Selanjutnya dengan adanya kader, maka pesan-pesan yang disampaikan dapat diterima dengan sempurna berkat adanya kader, jelaslah bahwa pembangunan kader adalah perwujudan pembangunan dalam bidang kesehatan (httplibrary.usu.ac.iddownloadfkmfkm-zulkifli 1.pdf).
Angka kejadian diare disebagian besar wilayah Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Kasubdit Diare dan Kecacingan Depkes, I Wayan Widaya mengatakan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 angka kematian akibat diare 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita 75 per 100 ribu balita. Selama tahun 2006 sebanyak 41 kabupaten di 16 provinsi melaporkan KLB diare di wilayahnya. Jumlah kasus diare yang dilaporkan sebanyak 10.980 dan 277 diantaranya menyebabkan kematian. Hal tersebut, utamanya disebabkan rendahnya ketersediaan air bersih, sanitasi buruk dan perilaku hidup tidak sehat. Laporan 119 Dinkes Kab/ Kota tahun 2004 air bersih yang memenuhi syarat kesehatan 57,00 persen dan persentase keluarga yang menggunakan jamban yang memenuhi syarat kesehatan 67,12 persen. Menurut Wayan, pihaknya memfokuskan strategi penanganan penatalaksanaan diare pada tingkat runah tangga, sarana kesehatan dan KLB diare (httpwww.depkes.go.idindex.phpoption =news&task=viewarticle&sid=2475&Itimed=2).
Penyakit diare di Kalimantan Selatan masuk dalam golongan penyakit terbesar yang angka kejadiannya relative cukup tinggi. Keadaan ini didukung oleh faktor lingkungan, yaitu penggunaan air untuk keperluan sehari-hari yang tidak memenuhi syarat, sarana jamban keluarga yang kurang memenuhi syarat, serta kondisi sanitasi perumahan yang tidak higienis.
Penyakit diare juga merupakan salah satu penyebab utama kematian pada anak balita. Angka kejadian penyakit diare sejak tahun 1997 cenderung mengalami penurunan, dari 17 per 1.000 penduduk menurun menjadi 6.9 per 1.000 penduduk tahun 2005 pada tahun 2006 meningkat menjadi 19.5 per 1.000 penduduk (Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2006).
Penyakit diare merupakan penyakit terbanyak di Kabupaten jumlah kasus 9089, Kecamatan di Puskesmas merupakan kecamatan dan Puskesmas tertinggi jumlah kasus diare mencapai 1036 kasus. Angka kejadian diare selama tahun 2007 di wilayah kerja Puskesmas sebanyak 90 kasus dengan incidence rate 16,4% dan kasus diare tertinggi ditemukan di Desa Benua Hanyar sebanyak 16 kasus diare berdasarkan laporan tahunan Puskesmas tahun 2007.
Untuk mendukung ke empat upaya atau strategi utama Depkes yaitu : Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, meningkatkan pembiayaan kesehatan. Tidaklah cukup dengan hanya bergantung pada tenaga kesehatan. Usaha peningkatan kesehatan masyarakat juga memerlukan bantuan kader kesehatan yang kompeten yang ada di masyarakat. Memahami pentingnya kesehatan, dibutuhkan kerjasama lintas sektor agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, berkualitas tinggi, dan siap bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang sudah lebih maju (Depkes, 2006).
Berdasarkan laporan tahunan Puskesmas tahun 2007 terdapat 18 Posyandu dengan tingkat perkembangan Posyandu, yaitu Posyandu Pratama sebanyak 3 buah (16,7%), Posyandu Madya 4 buah (22,2%), Purnama 10 (55,5%), dan Mandiri sebanyak 1 buah (5,5%). Jumlah kader sebanyak 78 orang dan keseluruhannya berjenis kelamin wanita. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan kader dalam melaksanakan kegiatan Posyandu masih sangat rendah karena kemandirian kader kesehatan dalam program penanggulangan diare masih kurang. Frekuensi penyuluhan masih kurang bahkan hingga saat ini di wilayah kerja Puskesmas belum optimal kerja kader yang mampu memberikan penyuluhan dalam penanggulangan diare.
B. Rumusan Masalah
Rendahnya peranan kader kesehatan dalam penanggulangan diare dapat dilihat dari masih tingginya angka incidence rate kasus diare di wilayah kerja Puskesmas yaitu sebesar 16,4% pada tahun 2007. Melihat pentingnya peran kader kesehatan dalam menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, maka peneliti membuat rumusan sebagai berikut :
a. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi peran kader kesehatan dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun ?
b. Bagaimanakah peran kader kesehatan dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun ?
C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kader Posyandu dalam perannya untuk menanggulangi penyakit diare di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun .
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mendiskripsikan tingkat pengetahuan kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
2. Untuk mendiskripsikan sikap kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
3. Untuk mendiskripsikan tingkat motivasi kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
4. Untuk mendiskripsikan tingkat motivasi kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
5. Untuk mendiskripsikan peran kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
6. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan peran kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
7. Untuk mengetahui hubungan sikap dengan peran kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
8. Untuk mengetahui hubungan motivasi dengan peran kader dalam penanggulangan diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Meningkatkan wawasan keilmuan dan menerapkan teori-teori yang diperoleh waktu kuliah terhadap masalah-masalah kesehatan masyarakat
2. Bagi Instansi Terkait
Sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan dalam merencanakan dan melaksanakan program kesehatan.
3. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peran kader kesehatan dalam menanggulangi penyakit diare.
E. Ruang Lingkup
1. Ruang Lingkup Keilmuan
Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup ilmu kesehatan masyarakat dan merupakan bagian dari ilmu Pendidikan dan Perilaku Kesehatan/ Pemberdayaan Kesehatan.
2. Ruang Lingkup Tempat
Penelitian dilakukan di Puskesmas Kecamatan Kabupaten .
3. Ruang Lingkup Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan dalam waktu 4 bulan dimulai pada minggu kedua bulan Juni sampai dengan minggu kedua bulan Oktober tahun .
4. Ruang Lingkup Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada tingkat pengetahuan, sikap, dan motivasi dengan peran kader kesehatan dalam menanggulangi penyakit diare di wilayah kerja Puskesmas tahun .
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Kader Kesehatan dalam Penanggulangan Diare
Tidak ada komentar:
Posting Komentar