KTI SKRIPSI
Hubungan antara Kebiasaan Merokok pada Remaja Usia 15-19 tahun dengan Gangguan Pola Tidur (Insomnia)
Trend kesehatan modern memperhatikan tidur sebagai salah satu pilar penopang kesehatan selain olah raga dan keseimbangan nutrisi. Di pagi hari kita merasakan manfaat dari tidur yang menyegarkan dan memberi energi baru untuk menghadapi hari yang akan kita jelang. Ini disebabkan oleh kortisol yang dihasilkan pada saat tidur. Kortisol dihasilkan menjelang pagi saat proses tidur mendekati akhir. Dalam tidur terjadi juga pembaruan dan perbaikan sel-sel yang rusak yang dipicu oleh Growth Hormone yang dihasilkan tubuh pada tahap tidur malam (Prasadja,2009).
Kurang tidur atau proses tidur yang terganggu jelas merugikan kesehatan dan performa kita di siang hari. Mulai dari kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya suasana hati. Kondisi kurang tidur juga menurunkan daya tahan tubuh seseorang. Efek kurang tidur yang paling nyata terlihat adalah pada kulit yang tampak kusam dan tak segar (Prasadja,2009).
Ada lebih dari 40 kondisi medis yang telah ditentukan sebagai penyebab insomnia. Kira-kira separuh dari jumlah ini adalah kondisi psikologis seperti kekhawatiran, stress, atau depresi. Sisanya adalah gangguan tidur yang disebabkan kondisi khusus seperti alergi, radang sendi, kecanduan alkohol, merokok, diet dan obesitas. Individu yang mengalami stress atau depresi sangat berpeluang menderita insomnia (Listiani, 2007).
Merokok adalah salah satu penyeban insomnia. Dalam bidang kesehatan tidur, nikotin dalam rokok digolongkan dalam kelompok zat stimulan. Stimulan merupakan zat yang memberikan efek menyegarkan seperti halnya kafein dan coklat. Namun demikian, ada juga sebagian efek dari nikotin yang menenangkan sehingga perokok dapat merasa tenang dan santai saat menghirup asapnya (Prasadja,2009).
Namun efek stimulan dari nikotin ternyata lebih kuat, ini dibuktikan dengan penelitian Punjabi dan kawan-kawan di tahun 2006 yang meneliti efek nikotin pada pola tidur seseorang. Perokok ternyata membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur dibanding orang yang tidak merokok. Mereka jadi sulit tidur (Prasadja,2009).
Pada penelitian selanjutnya yang dipublikasikan pada Februari 2008, Punjabi dan kawan-kawan lebih menyoroti efek kecanduan rokok pada pola tidur. Secara teoritis, nikotin akan hilang dari otak dalam waktu 30 menit. Tetapi reseptor di otak seorang pecandu seolah ‘menagih’ nikotin lagi, sehingga mengganggu proses tidur (Prasadja,2009).
Pada pecandu akut yang baru mulai kecanduan rokok, selain lebih sulit tidur, mereka juga dapat terbangun oleh keinginan kuat untuk merokok setelah tidur kira-kira 2 jam. Setelah merokok mereka akan sulit untuk tidur kembali karena efek stimulan dari nikotin. Saat tidur, proses ini akan berulang dan ia terbangun lagi untuk merokok (Prasadja,2009).
Sedangkan pada tahap lanjut, perokok mengalami gangguan kualitas tidur yang dipicu oleh efek ‘menagih’ dari kecanduan nikotin. Dari perekaman gelombang otak di laboratorium tidur, didapatkan bahwa perokok lebih banyak tidur ringan dibandingkan tidur dalam; terutama pada jam-jam awal tidur. Akibatnya, dari penelitian tersebut didapatkan, jumlah orang yang melaporkan rasa tak segar atau masih mengantuk saat bangun tidur pada perokok adalah 4 kali lipat dibandingkan orang yang tidak merokok (Prasadja,2009).
Menurut Departemen Kesehatan melalui pusat promosi kesehatan menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi. Berdasarkan data dari WHO tahun 2008 Indonesia menduduki urutan ke 3 terbanyak dalam konsumsi rokok di dunia dan setiap tahunnya mengkonsumsi 225 miliar batang rokok (Nusantaraku,2009).
Berdasatkan hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 menunjukan bahwa jumlah perokok aktif di provinsi itu yang mencapai 26,7 persen Hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 juga menyebutkan kebiasaan merokok di Jawa Barat rata-rata didominasi sejak usia remaja 15-19 tahun, presentasinya mencapai 50,4 persen (Profil Kesehatan Indonesia, 2008).
Disusul kelompok usia 20-24 tahun, sekitar 24,7 persen. Ironisnya perokok di usia anak-anak kelompok umur 10-14 tahun sebesar 11,9 persen, lebih banyak dibanding kelompok usia 25-29 tahun yang hanya 7,1 persen atau 5,8 persen untuk kelompok usia di atas 30 tahun (Profil Kesehatan Indonesia,2008).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puskesmas Kecamatan Kabupaten pada bulan April di beberapa sekolah di wilayah kerjanya, didapatkan hasil bahwa presentasi terbesar perokok remaja terdapat di .Dari 41 siswa yang dijadikan sampel penelitian didapatkan hasil,33 orang adalah perokok dan hanya 8 orang saja yang tidak merokok. Dengan kata lain, 80,49% siswa adalah perokok (Data Puskesmas , ).
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di Kabupaten .Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi gangguan pola tidur (insomnia) yang akan diteliti adalah kebiasaan merokok berdasarkan jumlah rata-rata rokok yang dihisap per hari yang meliputi perokok berat, perokok sedang dan perokok ringan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka yang menjadi masalah penelitian adalah:
Tingginya angka perokok aktif pada siswa di Kabupaten .Tingginya angka perokok aktif ini dapat meningkatkan resiko gangguan pola tidur (insomnia) pada siswa di sekolah tersebut. Gangguan pola tidur (insomnia) ini dapat menyebabkan kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya suasana hati. Penelitian ini akan mengkaji hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun berdasarkan jumlah rata-rata rokok yang dihisap per hari dengan gangguan pola tidur (insomnia) di Kabupaten .
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di Kabupaten .
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten .
2. Untuk mengetahui gambaran gangguan pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten .
3. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten .
4. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten setelah dikontrol oleh variabel stress sebagai perancu.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan menambah wawasan mengenai hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia).
1.4.2 Bagi Sekolah dan Siswa
Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi sekolah dan siswa pada khususnya agar meminimalkan konsumsi merokok untuk menghindari gangguan pola tidur (insomnia) dan memaksimalkan fungsi tidur itu sendiri.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
1.5.1 Ruang Lingkup Tempat
Lingkup tempat penelitian ini adalah di Kabupaten .
1.5.2 Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli .
1.5.3 Ruang Lingkup Sasaran
Penelitian ini ditujukan kepada seluruh siswa Kelas I, II, dan III pada tahun ajaran .
silahkan download KTI SKRIPSI
Hubungan antara Kebiasaan Merokok pada Remaja Usia 15-19 tahun dengan Gangguan Pola Tidur (Insomnia)
Hubungan antara Kebiasaan Merokok pada Remaja Usia 15-19 tahun dengan Gangguan Pola Tidur (Insomnia)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang MasalahTrend kesehatan modern memperhatikan tidur sebagai salah satu pilar penopang kesehatan selain olah raga dan keseimbangan nutrisi. Di pagi hari kita merasakan manfaat dari tidur yang menyegarkan dan memberi energi baru untuk menghadapi hari yang akan kita jelang. Ini disebabkan oleh kortisol yang dihasilkan pada saat tidur. Kortisol dihasilkan menjelang pagi saat proses tidur mendekati akhir. Dalam tidur terjadi juga pembaruan dan perbaikan sel-sel yang rusak yang dipicu oleh Growth Hormone yang dihasilkan tubuh pada tahap tidur malam (Prasadja,2009).
Kurang tidur atau proses tidur yang terganggu jelas merugikan kesehatan dan performa kita di siang hari. Mulai dari kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya suasana hati. Kondisi kurang tidur juga menurunkan daya tahan tubuh seseorang. Efek kurang tidur yang paling nyata terlihat adalah pada kulit yang tampak kusam dan tak segar (Prasadja,2009).
Ada lebih dari 40 kondisi medis yang telah ditentukan sebagai penyebab insomnia. Kira-kira separuh dari jumlah ini adalah kondisi psikologis seperti kekhawatiran, stress, atau depresi. Sisanya adalah gangguan tidur yang disebabkan kondisi khusus seperti alergi, radang sendi, kecanduan alkohol, merokok, diet dan obesitas. Individu yang mengalami stress atau depresi sangat berpeluang menderita insomnia (Listiani, 2007).
Merokok adalah salah satu penyeban insomnia. Dalam bidang kesehatan tidur, nikotin dalam rokok digolongkan dalam kelompok zat stimulan. Stimulan merupakan zat yang memberikan efek menyegarkan seperti halnya kafein dan coklat. Namun demikian, ada juga sebagian efek dari nikotin yang menenangkan sehingga perokok dapat merasa tenang dan santai saat menghirup asapnya (Prasadja,2009).
Namun efek stimulan dari nikotin ternyata lebih kuat, ini dibuktikan dengan penelitian Punjabi dan kawan-kawan di tahun 2006 yang meneliti efek nikotin pada pola tidur seseorang. Perokok ternyata membutuhkan waktu lebih lama untuk tertidur dibanding orang yang tidak merokok. Mereka jadi sulit tidur (Prasadja,2009).
Pada penelitian selanjutnya yang dipublikasikan pada Februari 2008, Punjabi dan kawan-kawan lebih menyoroti efek kecanduan rokok pada pola tidur. Secara teoritis, nikotin akan hilang dari otak dalam waktu 30 menit. Tetapi reseptor di otak seorang pecandu seolah ‘menagih’ nikotin lagi, sehingga mengganggu proses tidur (Prasadja,2009).
Pada pecandu akut yang baru mulai kecanduan rokok, selain lebih sulit tidur, mereka juga dapat terbangun oleh keinginan kuat untuk merokok setelah tidur kira-kira 2 jam. Setelah merokok mereka akan sulit untuk tidur kembali karena efek stimulan dari nikotin. Saat tidur, proses ini akan berulang dan ia terbangun lagi untuk merokok (Prasadja,2009).
Sedangkan pada tahap lanjut, perokok mengalami gangguan kualitas tidur yang dipicu oleh efek ‘menagih’ dari kecanduan nikotin. Dari perekaman gelombang otak di laboratorium tidur, didapatkan bahwa perokok lebih banyak tidur ringan dibandingkan tidur dalam; terutama pada jam-jam awal tidur. Akibatnya, dari penelitian tersebut didapatkan, jumlah orang yang melaporkan rasa tak segar atau masih mengantuk saat bangun tidur pada perokok adalah 4 kali lipat dibandingkan orang yang tidak merokok (Prasadja,2009).
Menurut Departemen Kesehatan melalui pusat promosi kesehatan menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki tingkat konsumsi rokok dan produksi rokok tertinggi. Berdasarkan data dari WHO tahun 2008 Indonesia menduduki urutan ke 3 terbanyak dalam konsumsi rokok di dunia dan setiap tahunnya mengkonsumsi 225 miliar batang rokok (Nusantaraku,2009).
Berdasatkan hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 menunjukan bahwa jumlah perokok aktif di provinsi itu yang mencapai 26,7 persen Hasil riset yang dilakukan Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2007 juga menyebutkan kebiasaan merokok di Jawa Barat rata-rata didominasi sejak usia remaja 15-19 tahun, presentasinya mencapai 50,4 persen (Profil Kesehatan Indonesia, 2008).
Disusul kelompok usia 20-24 tahun, sekitar 24,7 persen. Ironisnya perokok di usia anak-anak kelompok umur 10-14 tahun sebesar 11,9 persen, lebih banyak dibanding kelompok usia 25-29 tahun yang hanya 7,1 persen atau 5,8 persen untuk kelompok usia di atas 30 tahun (Profil Kesehatan Indonesia,2008).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Puskesmas Kecamatan Kabupaten pada bulan April di beberapa sekolah di wilayah kerjanya, didapatkan hasil bahwa presentasi terbesar perokok remaja terdapat di .Dari 41 siswa yang dijadikan sampel penelitian didapatkan hasil,33 orang adalah perokok dan hanya 8 orang saja yang tidak merokok. Dengan kata lain, 80,49% siswa adalah perokok (Data Puskesmas , ).
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di Kabupaten .Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi gangguan pola tidur (insomnia) yang akan diteliti adalah kebiasaan merokok berdasarkan jumlah rata-rata rokok yang dihisap per hari yang meliputi perokok berat, perokok sedang dan perokok ringan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka yang menjadi masalah penelitian adalah:
Tingginya angka perokok aktif pada siswa di Kabupaten .Tingginya angka perokok aktif ini dapat meningkatkan resiko gangguan pola tidur (insomnia) pada siswa di sekolah tersebut. Gangguan pola tidur (insomnia) ini dapat menyebabkan kurangnya motivasi, penurunan kemampuan konsentrasi dan daya ingat, hingga buruknya suasana hati. Penelitian ini akan mengkaji hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun berdasarkan jumlah rata-rata rokok yang dihisap per hari dengan gangguan pola tidur (insomnia) di Kabupaten .
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun dengan gangguan pola tidur (insomnia) di Kabupaten .
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran kebiasaan merokok pada remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten .
2. Untuk mengetahui gambaran gangguan pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten .
3. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten .
4. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia) pada remaja usia 15-19 tahun di Kabupaten setelah dikontrol oleh variabel stress sebagai perancu.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan menambah wawasan mengenai hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan pola tidur (insomnia).
1.4.2 Bagi Sekolah dan Siswa
Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi sekolah dan siswa pada khususnya agar meminimalkan konsumsi merokok untuk menghindari gangguan pola tidur (insomnia) dan memaksimalkan fungsi tidur itu sendiri.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
1.5.1 Ruang Lingkup Tempat
Lingkup tempat penelitian ini adalah di Kabupaten .
1.5.2 Ruang Lingkup Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli .
1.5.3 Ruang Lingkup Sasaran
Penelitian ini ditujukan kepada seluruh siswa Kelas I, II, dan III pada tahun ajaran .
Hubungan antara Kebiasaan Merokok pada Remaja Usia 15-19 tahun dengan Gangguan Pola Tidur (Insomnia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar