KTI SKRIPSI
Studi Cross Sectional Penyakit ISPA pada Balita BGM
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Berdasarkan visi pembangunan nasional melalui pembangunan kesehatan yang ingin dicapai untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010. Visi pembangunan gizi adalah mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi keluarga yang optimal.2
Masukan gizi telah terbukti merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh dalam pembangunan dan pembentukan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas hidup masyarakat akan berhasil dengan baik apabila dilakukan sedini mungkin, yaitu dengan memberikan perhatian kepada gizi balita.2
Masalah gizi di Indonesia masih merupakan masalah yang cukup berat. Pada hakekatnya berpangkal pada keadaan ekonomi yang kurang dan kurangnya pengetahuan tentang nilai gizi dari makanan-makanan yang ada. Makanan yang sehat harus memenuhi syarat kualitas maupun kuantitas, disamping jangan mengandung zat-zat/organisme-organisme yang dapat menimbulkan penyakit. Masalah gizi juga timbul karena perilaku gizi seseorang yang salah, yaitu ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dan kecukupan gizinya. Bila konsumsi selalu kurang dari kecukupan gizinya, maka seseorang menderita gizi kurang. Sebaliknya, jika konsumsi melebihi kecukupan gizinya maka yang bersangkutan akan menderita gizi lebih. Jumlah kebutuhan makanan tidaklah sama pada setiap orang. Hal ini tergantung pada umur, jenis kelamin, tinggi dan berat badan, jenis pekerjaan dan keadaan kesehatan orang itu sendiri.3
Anak usia dibawah lima tahun merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini yang merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat gizi, dan jumlahnya dalam populasi besar.3
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan makanannya dan meninggikan kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergistik maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi secara sendiri-sendiri. Akibat gizi kurang sistem imunitas dan antibodi berkurang, sehingga orang mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk, dan diare. Pada anak-anak hal ini dapat membawa kematian.4,5
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini tampak dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yang menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA masih 29,5 %. Artinya dari 100 bayi yang meninggal 30 di antaranya meninggal karena ISPA.2
Berdasarkan data profil kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, prevalensi total di propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1999 sebesar 17,48 % dan pada tahun 2000 turun menjadi 10,43 %, pada tahun 2001 terjadi peningkatan prevalensi gizi kurang pada balita total menjadi 12,5 %. Penemuan jumlah kasus bayi, batita dan balita di bawah garis merah (BGM) melalui program penimbangan bulanan tahun 2002 oleh Dinas Kota Banjarmasin berjumlah 5326 balita. Dari data rekapitulasi hasil penimbangan balita di Puskesmas periode Januari sampai Maret , ditemukan kasus BGM (kasus baru dan lama) 6 orang bayi, 31 orang batita dan 20 orang balita. Di Puskesmas pada tahun penyakit ISPA menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak. Jumlahnya mencapai 2376 balita. Pada periode bulan Januari sampai Juni tahun sebanyak 1090 balita.
Berdasarkan data tersebut, jumlah balita BGM dan penderita ISPA pada balita di puskesmas cukup tinggi. Namun belum diketahui apakah balita BGM yang ada tersebut berhubungan dengan penyakit ISPA. Dengan demikian penelitian ini dilakukan guna membuktikan adanya hubungan balita BGM dengan penyakit ISPA serta membuktikan apakah balita BGM merupakan faktor risiko penyakit ISPA pada balita di Puskesmas bulan Juni .
1.3 Rumusan Penelitian
Apakah terdapat hubungan antara balita BGM dengan penyakit ISPA dan apakah BGM itu merupakan faktor risiko penyakit ISPA pada balita di Puskesmas bulan Juni .
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak hubungan antara balita BGM dengan penyakit ISPA dan untuk membuktikan apakah balita BGM benar-benar merupakan faktor risiko terhadap terjadinya penyakit ISPA di Puskesmas bulan Juni .
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan atau informasi kepada masyarakat tentang hubungan antara balita BGM dengan penyakit ISPA, dan bahwa balita BGM merupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penyakit ISPA. Diharapkan pula dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu gizi pada khususnya, serta dapat menjadi data ilmiah bagi penelitian selanjutnya.
silahkan download KTI SKRIPSI
Studi Cross Sectional Penyakit ISPA pada Balita BGM
Studi Cross Sectional Penyakit ISPA pada Balita BGM
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar BelakangTujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Berdasarkan visi pembangunan nasional melalui pembangunan kesehatan yang ingin dicapai untuk mewujudkan Indonesia sehat 2010. Visi pembangunan gizi adalah mewujudkan keluarga mandiri sadar gizi untuk mencapai status gizi keluarga yang optimal.2
Masukan gizi telah terbukti merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh dalam pembangunan dan pembentukan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas hidup masyarakat akan berhasil dengan baik apabila dilakukan sedini mungkin, yaitu dengan memberikan perhatian kepada gizi balita.2
Masalah gizi di Indonesia masih merupakan masalah yang cukup berat. Pada hakekatnya berpangkal pada keadaan ekonomi yang kurang dan kurangnya pengetahuan tentang nilai gizi dari makanan-makanan yang ada. Makanan yang sehat harus memenuhi syarat kualitas maupun kuantitas, disamping jangan mengandung zat-zat/organisme-organisme yang dapat menimbulkan penyakit. Masalah gizi juga timbul karena perilaku gizi seseorang yang salah, yaitu ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dan kecukupan gizinya. Bila konsumsi selalu kurang dari kecukupan gizinya, maka seseorang menderita gizi kurang. Sebaliknya, jika konsumsi melebihi kecukupan gizinya maka yang bersangkutan akan menderita gizi lebih. Jumlah kebutuhan makanan tidaklah sama pada setiap orang. Hal ini tergantung pada umur, jenis kelamin, tinggi dan berat badan, jenis pekerjaan dan keadaan kesehatan orang itu sendiri.3
Anak usia dibawah lima tahun merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini yang merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat gizi, dan jumlahnya dalam populasi besar.3
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan gizi melalui gangguan masukan makanannya dan meninggikan kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergistik maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi secara sendiri-sendiri. Akibat gizi kurang sistem imunitas dan antibodi berkurang, sehingga orang mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk, dan diare. Pada anak-anak hal ini dapat membawa kematian.4,5
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini tampak dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 yang menunjukkan bahwa proporsi kematian bayi akibat ISPA masih 29,5 %. Artinya dari 100 bayi yang meninggal 30 di antaranya meninggal karena ISPA.2
Berdasarkan data profil kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Selatan, prevalensi total di propinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1999 sebesar 17,48 % dan pada tahun 2000 turun menjadi 10,43 %, pada tahun 2001 terjadi peningkatan prevalensi gizi kurang pada balita total menjadi 12,5 %. Penemuan jumlah kasus bayi, batita dan balita di bawah garis merah (BGM) melalui program penimbangan bulanan tahun 2002 oleh Dinas Kota Banjarmasin berjumlah 5326 balita. Dari data rekapitulasi hasil penimbangan balita di Puskesmas periode Januari sampai Maret , ditemukan kasus BGM (kasus baru dan lama) 6 orang bayi, 31 orang batita dan 20 orang balita. Di Puskesmas pada tahun penyakit ISPA menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak. Jumlahnya mencapai 2376 balita. Pada periode bulan Januari sampai Juni tahun sebanyak 1090 balita.
Berdasarkan data tersebut, jumlah balita BGM dan penderita ISPA pada balita di puskesmas cukup tinggi. Namun belum diketahui apakah balita BGM yang ada tersebut berhubungan dengan penyakit ISPA. Dengan demikian penelitian ini dilakukan guna membuktikan adanya hubungan balita BGM dengan penyakit ISPA serta membuktikan apakah balita BGM merupakan faktor risiko penyakit ISPA pada balita di Puskesmas bulan Juni .
1.3 Rumusan Penelitian
Apakah terdapat hubungan antara balita BGM dengan penyakit ISPA dan apakah BGM itu merupakan faktor risiko penyakit ISPA pada balita di Puskesmas bulan Juni .
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidak hubungan antara balita BGM dengan penyakit ISPA dan untuk membuktikan apakah balita BGM benar-benar merupakan faktor risiko terhadap terjadinya penyakit ISPA di Puskesmas bulan Juni .
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan atau informasi kepada masyarakat tentang hubungan antara balita BGM dengan penyakit ISPA, dan bahwa balita BGM merupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan terjadinya penyakit ISPA. Diharapkan pula dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu gizi pada khususnya, serta dapat menjadi data ilmiah bagi penelitian selanjutnya.
Studi Cross Sectional Penyakit ISPA pada Balita BGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar