KTI SKRIPSI
Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah
Masalah kesehatan penduduk di Indonesia masih ditandai dengan tingginya penyakit–penyakit yang berkaitan dengan rendahnya tingkat sosial ekonomi penduduk. Salah satu penyakit yang insidennya masih tinggi adalah infeksi cacing. Di Indonesia kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi, karena Indonesia adalah negara yang agraris dengan tingkat sosial ekonomi, pengetahuan, keadaan sanitasi lingkungan dan higiene masyarakat masih rendah yang sangat menyokong untuk terjadinya infeksi dan penularan cacing (Ginting, 2003).
Saat ini lebih dari 2 milyar penduduk di dunia terinfeksi cacing. Prevalensi yang tinggi ditemukan terutama di negara-negara non industri (negara yang sedang berkembang). Merid mengatakan bahwa menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan 800 juta–1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700–900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris (Merid, 2001 at in Ginting, 2003).
Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan berhubungan erat dengan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Diantara cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok “soil transmitted helminth” atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp (cacing tambang). Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan. Di Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan (Mardiana dan Djarismawati,2008)
Penyakit kecacingan seringkali dihubungkan dengan kejadian anemia, terutama anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi dipengaruhi juga oleh konsekwensi dari infeksi kecacingan dengan hilangnya darah secara kronis. Penyakit kecacingan dan anemia defisiensi besi merupakan masalah yang saling terkait dan dijumpai bersamaan dalam suatu masyarakat, yaitu karena rendahnya sosial ekonomi masyarakat dan sanitasi lingkungan yang sangat tidak memadai sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi terutama kecacingan (Rasmaliah, 2004)
Hubungan antara infeksi kecacingan dan anemia defisiensi besi sudah banyak terungkap dari berbagai penelitian yang telah dilakukan. Masing-masing saling memberikan kontribusi terhadap terjadinya kesakitan, walaupun besarnya kontribusi dari infeksi kecacingan terhadap anemia defisiensi besi masih belum banyak dibuktikan (Rasmaliah, 2004)
Di Nusa Teggara Barat pernah dilakukan sebuah penelitian mengenai prevalensi kecacingan terhadap perajin gerabah di Desa Penelitian yang disponsori empat lembaga, yaitu Dinas Kesehatan NTB, Ford Foundation, Pusat Informasi Kesehatan dan Perlindungan Keluarga (PIKPK) dan Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Mataram ini membuktikan bahwa 100 persen perajin gerabah yang menjadi sampel penelitian positif menderita kecacingan. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 400 perajin gerabah. Dari jumlah itu, terdapat 392 perempuan dan sisanya adalah pria. Setelah dilakukan pemeriksaan feses dan gejala klinis penyakit, ternyata 100 persen dari subyek penelitian mengidap penyakit cacingan. Jenis cacing yang ditemukan, seperti cacing gelang (Ascaris lumbriscoides) sebanyak 52 persen, cacing cambuk dan cacing kremi sebanyak 48 persen. Penyebabnya karena tiap hari bersentuhan dengan tanah dan pola hidup yang jauh dari standar sehat. Sedangkan gejala klinis yang diderita para perajin gerabah, terutama yang perempuan, biasanya mengalami keluhan seperti keputihan, pegal-pegal, linu, dan cepat merasa capek (Sujatmiko, 2005).
Status anemia seseorang dapat diketahui dengan melakukan berbagai jenis pemeriksaan laboratorium, seperti pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar Fe serum, pemeriksaan apusan darah tepi dan lain-lain. Pemeriksaan darah tepi adalah salah satu metode yang cukup mudah dilakukan dan melalui pemeriksaan ini kita dapat melihat gambaran anemia seseorang berdasarkan morfologinya yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan etiologi dari anemia tersebut.
Karena belum ada penelitian yang menyoroti tentang kecacingan disertai dengan gambaran anemia pada masyarakat khususnya terhadap perajin gerabah di Nusa Tenggara Barat, maka data tentang prevalensi kecacingan pada masyarakat resiko tinggi ini sangat diperlukan.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah di Dusun ”
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimanakah profil kecacingan, kadar hemoglobin dan gambaran pemeriksaan apusan darah tepi pada perajin gerabah di ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui profil kecacingan, kadar hemoglobin dan gambaran pemeriksaan apusan darah tepi pada perajin gerabah di
1.3.2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui data tentang angka kejadian infeksi kecacingan pada masyarakat yang bermata pencaharian sebagai perajian gerabah di Dusun
2) Mengetahui data mengenai gambaran anemia pada pemeriksaan apusan darah tepi pada sampel yang positif mengalami cacingan dan memiliki nilai kadar hemoglobin yang rendah.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
1.4.1 Puskesmas
Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam usaha pencegahan dan cara pengobatan dari permasalahan kesehatan yang terjadi yang berhubungan dengan penyakit cacingan dan anemia.
1.4.2 Masyarakat
Menambah pengetahuan dalam usaha pencegahan maupun pengobatan serta melaksanakan berbagai program pemberantasan penyakit cacingan terutama pada masyarakat dengan resiko tinggi.
1.4.3 Peneliti
Sebagai pengalaman langsung dalam melakukan penelitian dan dapat menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh.
silahkan download KTI SKRIPSI
Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah
Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang PermasalahanMasalah kesehatan penduduk di Indonesia masih ditandai dengan tingginya penyakit–penyakit yang berkaitan dengan rendahnya tingkat sosial ekonomi penduduk. Salah satu penyakit yang insidennya masih tinggi adalah infeksi cacing. Di Indonesia kecacingan merupakan masalah kesehatan masyarakat terbanyak setelah malnutrisi, karena Indonesia adalah negara yang agraris dengan tingkat sosial ekonomi, pengetahuan, keadaan sanitasi lingkungan dan higiene masyarakat masih rendah yang sangat menyokong untuk terjadinya infeksi dan penularan cacing (Ginting, 2003).
Saat ini lebih dari 2 milyar penduduk di dunia terinfeksi cacing. Prevalensi yang tinggi ditemukan terutama di negara-negara non industri (negara yang sedang berkembang). Merid mengatakan bahwa menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan 800 juta–1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700–900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris (Merid, 2001 at in Ginting, 2003).
Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan berhubungan erat dengan kebersihan pribadi dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Diantara cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok “soil transmitted helminth” atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan Ancylostoma sp (cacing tambang). Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan. Di Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan (Mardiana dan Djarismawati,2008)
Penyakit kecacingan seringkali dihubungkan dengan kejadian anemia, terutama anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi dipengaruhi juga oleh konsekwensi dari infeksi kecacingan dengan hilangnya darah secara kronis. Penyakit kecacingan dan anemia defisiensi besi merupakan masalah yang saling terkait dan dijumpai bersamaan dalam suatu masyarakat, yaitu karena rendahnya sosial ekonomi masyarakat dan sanitasi lingkungan yang sangat tidak memadai sehingga memudahkan terjadinya penularan penyakit infeksi terutama kecacingan (Rasmaliah, 2004)
Hubungan antara infeksi kecacingan dan anemia defisiensi besi sudah banyak terungkap dari berbagai penelitian yang telah dilakukan. Masing-masing saling memberikan kontribusi terhadap terjadinya kesakitan, walaupun besarnya kontribusi dari infeksi kecacingan terhadap anemia defisiensi besi masih belum banyak dibuktikan (Rasmaliah, 2004)
Di Nusa Teggara Barat pernah dilakukan sebuah penelitian mengenai prevalensi kecacingan terhadap perajin gerabah di Desa Penelitian yang disponsori empat lembaga, yaitu Dinas Kesehatan NTB, Ford Foundation, Pusat Informasi Kesehatan dan Perlindungan Keluarga (PIKPK) dan Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Mataram ini membuktikan bahwa 100 persen perajin gerabah yang menjadi sampel penelitian positif menderita kecacingan. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 400 perajin gerabah. Dari jumlah itu, terdapat 392 perempuan dan sisanya adalah pria. Setelah dilakukan pemeriksaan feses dan gejala klinis penyakit, ternyata 100 persen dari subyek penelitian mengidap penyakit cacingan. Jenis cacing yang ditemukan, seperti cacing gelang (Ascaris lumbriscoides) sebanyak 52 persen, cacing cambuk dan cacing kremi sebanyak 48 persen. Penyebabnya karena tiap hari bersentuhan dengan tanah dan pola hidup yang jauh dari standar sehat. Sedangkan gejala klinis yang diderita para perajin gerabah, terutama yang perempuan, biasanya mengalami keluhan seperti keputihan, pegal-pegal, linu, dan cepat merasa capek (Sujatmiko, 2005).
Status anemia seseorang dapat diketahui dengan melakukan berbagai jenis pemeriksaan laboratorium, seperti pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar Fe serum, pemeriksaan apusan darah tepi dan lain-lain. Pemeriksaan darah tepi adalah salah satu metode yang cukup mudah dilakukan dan melalui pemeriksaan ini kita dapat melihat gambaran anemia seseorang berdasarkan morfologinya yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan etiologi dari anemia tersebut.
Karena belum ada penelitian yang menyoroti tentang kecacingan disertai dengan gambaran anemia pada masyarakat khususnya terhadap perajin gerabah di Nusa Tenggara Barat, maka data tentang prevalensi kecacingan pada masyarakat resiko tinggi ini sangat diperlukan.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah di Dusun ”
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimanakah profil kecacingan, kadar hemoglobin dan gambaran pemeriksaan apusan darah tepi pada perajin gerabah di ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui profil kecacingan, kadar hemoglobin dan gambaran pemeriksaan apusan darah tepi pada perajin gerabah di
1.3.2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui data tentang angka kejadian infeksi kecacingan pada masyarakat yang bermata pencaharian sebagai perajian gerabah di Dusun
2) Mengetahui data mengenai gambaran anemia pada pemeriksaan apusan darah tepi pada sampel yang positif mengalami cacingan dan memiliki nilai kadar hemoglobin yang rendah.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
1.4.1 Puskesmas
Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam usaha pencegahan dan cara pengobatan dari permasalahan kesehatan yang terjadi yang berhubungan dengan penyakit cacingan dan anemia.
1.4.2 Masyarakat
Menambah pengetahuan dalam usaha pencegahan maupun pengobatan serta melaksanakan berbagai program pemberantasan penyakit cacingan terutama pada masyarakat dengan resiko tinggi.
1.4.3 Peneliti
Sebagai pengalaman langsung dalam melakukan penelitian dan dapat menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh.
Profil Kecacingan, Kadar Hemoglobin dan Gambaran Pemeriksaan Apusan Darah Tepi Perajin Gerabah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar